2.1. Masyarakat
Pesisir dan Struktur Sosial Nelayan
Secara historis-kultural,
timbulnya pranata masyarakat pesisir atau masyarakat pantai dimana komunitas
masyarakatnya dominan kaum nelayan, dapat dijelaskan melalui beberapa fase yang
meliputi munculnya masyarakat maritim, adanya tatanan masyarakat pantai dan
mobilitas kaum nelayan sebagai pendukung budaya maritim.
2.1.1. Konsep
Masyarakat Maritim
Sudah menjadi suatu
mitos yang berkembang ditengah-tengah masyarakat bahwa Indonesia
memiliki kekayaan laut yang berlimpah, baik sumber hayatinya maupun non
hayatinya, walaupun mitos seperti itu perlu dibuktikan dengan penelitian yang
lebih mendalam dan komprehensif. Terlepas dari mitos tersebut, kenyataannya
Indonesia adalah negara maritim dengan 70% wilayahnya adalah laut, namun
sangatlah ironis sejak 46 tahun yang lalu
kebijakan pembangunan kesehatan masyarakat tidak pernah mendapat perhatian yang
serius dari pemerintah.
Munculnya tatanan
masyarakat maritim sebagai suatu komunitas tradisional berawal dari kebangkitan
kerajaan maritim di Sulawesi Selatan yang sangat berpengaruh di Kawasan Timur
Indonesia pada abad XV – XVII. Setidaknya, ada tiga ciri utama pola dasar
pembentukan kehidupan budaya masyarakat maritim yaitu kultur laut (tas‘
akkajang), tradisi agraris (pallaon ruma) dan mobilitas
pasar (pasa-maroae) atau pedagang. Ketiga pola ini erat
hubungannya dengan ekologi, letak geografis dan tatanan sosial-budaya
masyarakat maritim.
Bila tasi’
akkajang dominan dalam aktivitas masyarakat, maka
pranata-pranata yang tumbuh dalam masyarakat mengarah ke kultur laut. Dalam
suasana seperti ini, ritual-ritual yang erat hubungannya dengan laut
tumbuh dan menjadi pesat. Ilmu pengetahuan, seni, arsitektur, adat, mistik,
hukum yang erat hubungannya dengan dunia kemaritiman tumbuh dengan pesatnya.
Secara historis
pertumbuhan masyarakat semacam ini dapat ditemukan pada daerah-daerah pesisir
Sulawesi Selatan yang mendapat pengaruh dari kerajaan Gowa, kerajaan
Makassar pada abad XVI – XVII. Bila aktivitas “pallaon-ruma”
mewarnai kegiatan masyarakat, maka pranata-pranata yang tumbuh pun merujuk ke
tradisi agraris. Pada masyarakat ini ditemukan ritual-ritual agraris. Ilmu
pengetahuan, seni, arsitektur, adat, mistik, hukum dan lain-lainnya yang
berkaitan erat dengan pertanian tumbuh pesat. Basis agraris ini dipengaruhi
oleh kerajaan Bone, Sidenreng dan Soppeng yang merupakan kerajaan agraris Bugis
dan sangat berpengaruhi di daerah
pedalaman Sulawesi Selatan pad abad ke XV – XVII.
Bila aktivitas pasa’
maroae atau pa’ balu-balu lebih dominan
dalam masyarakat maritim, maka aturan-aturan atau adat istiadat yang menyangkut
perdagangan/jual beli (bicaranna pabalue) menjadi ketentuan yang
sangat dipatuhi oleh masyarakat. Kondisi masyarakat semacam ini berada di bawah
pengaruh kerajaan Wajo yang hingga sekarang dikenal sebagai negeri asal para
pedagang Bugis.
Konsep budaya
maritim, tidak hanya terbatas pada masalah tasi’ akkajang tetapi juga
sangat erat hubungannya dengan pasa’ maroae atau pa’
balu-balu yang dilakukan melalui pelayaran dan lintas laut. Corak niaga
semacam ini disebut passompe atau perniagaan laut.
Kompleksitas
perwujudan budaya yang berhubungan dengan laut, dapat dilihat dari dua sisi. Pertama,
tradisi besar kemaritiman, diwakili kaum bangsawan, orang-orang baik (tubaji),
dan orang-orang kaya (tukalumannyang), para pemilik modal, serta
penduduk perkotaan di pesisir pantai. Kedua, tradisi kecil
kemaritiman diwakili rakyat biasa atau nelayan, para sawi (klien). Pada tradisi
besar kemaritiman ditemukan kompleksitas budaya yang mencakup; ide-ide
gagasan-gagasan, nilai-nilai, aturan-aturan, tindakan-tindakan, dan aktivitas
serta benda-benda hasil karya yang berhubungan dengan laut, baik secara
langsung atau tidak langsung. Secara harfiah dapat dikatakan bahwa filsafat,
seni, mistik, arsitektur, birokrasi, perang dan lain-lain bersumber dari
tradisi besar. Dengan demikian, tampak adanya perbedaan antara kebudayaan
maritim dan kebudayaan nelayan.
Nelayan acap kali diasosiasikan dengan
kemiskinan dan karenanya budaya nelayan atau kebiasaan masyarakat pesisir
diidentikkan dengan kemiskinan atau budaya orang miskin. Meskipun tak dapat
disangkali bahwa pendukung kebudayaan maritim adalah kaum nelayan, tetapi
nelayan hanyalah kelompok masyarakat pemangku “abiasang jemma tebbe” (little
tradition) dari masyarakat bahari. Jaringan aktivitasnya sangat
terbatas pada penangkapan ikan, sistem pengetahuan yang berkembang pun
berhubungan erat dengan penangkapan ikan dan sumberdaya laut, sementara
jaringan sosial-nya sangat terbatas pada network pinggawa-sawi (patron-klien).
Sedangkan Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian (BPLPP) Departemen
Pertanian mengartikan nelayan sebagai pengelola usaha penangkapan ikan yang
sebagian atau seluruh pendapatannya diperoleh dengan jalan melakukan penangkapan
ikan di laut atau perairan umum.
2.1.2. Konsep
Masyarakat Pantai
Konsep mengenai
masyarakat pantai dapat didekati
melalui upaya pemanfaatan sumberdaya alam oleh penduduknya dan kompleksitas
perwujudan budaya masyarakat. Berdasarkan hasil penelaahan dasar (baseline
study) yang dilakukan oleh Fachruddin dkk., ditemukan beberapa tipe
desa-desa pantai di Sulawesi Selatan melalui pendekatan pemanfaatan sumberdaya
alam, yaitu:
a.Desa pantai tipe bahan makanan, yaitu desa-desa pantai yang sebagian
besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai petani sawah
khususnya sawah padi.
b.Desa pantai tipe tanaman industri, yaitu desa-desa pantai yang sebagian
besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai petani tanaman
industri terutama kelapa.
c. Desa pantai tipe nelayan / empang, yaitu desa-desa pantai yang sebagian
besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai penangkap ikan
laut / pemeliharaan ikan darat.
d.Desa pantai niaga dan transportasi, yaitu desa-desa pantai yang sepanjang
tahun dapat ditempati oleh perahu-perahu layar.
Sedangkan
pendekatan kompleksitas perwujudan budaya masyarakat pantai sangat berkaitan
dengan kultur laut (tasi’ akkajang) yang mendapat pengaruh dari maritime
great tradition.
Adapun konsep
pengertian masyarakat pesisir yang digunakan dalam studi ini adalah konsep
masyarakat pesisir di perkotaan tipe nelayan dimana sebagian besar penduduknya
bermata-pencaharian pokok sebagai nelayan.
2.1.3. Struktur dan
Stratifikasi Sosial Nelayan
Munculnya teknologi
penangkapan ikan terutama penguasaan alat-alat penangkapan ikan yang
bersifat individu dan dapat diwariskan atau diperjual belikan berakibat
terbentuknya hubungan pemilikan yang lebih kongkret. Bersamaan dengan hal
tersebut terjadi diferensiasi hubungan antara nelayan dengan pemilik alat
penangkap ikan dan perahu, lalu berkembang menjadi suatu struktur dan berlanjut
menjadi suatu pelapisan sosial baru.
Istilah-istilah
menyangkut struktur dan pelapisan sosial nelayan dari berbagai studi sangat
beragam dan spesifik. Meskipun demikian pada dasarnya terdapat kesamaan
pengertian yang secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Pertama, Ponggawa yaitu para pemilik modal, alat
penangkap ikan dan perahu yang biasanya menangani bagi hasil dan pemasarannya.
Kedua, Juragan yaitu nelayan yang menyewa alat
penangkap ikan dan perahu ataukah memimpin operasi penangkapan ikan di laut.
Ketiga, Sawi yaitu nelayan yang tidak bermodal dan
hanya menawarkan tenaganya untuk jenis pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuannya.
Selain itu,
terdapat pula nelayan mandiri atau nelayan tradisional yang
terdiri atas nelayan pancing, nelayan patorani yang menggunakan jaring khusus
untuk penangkapan ikan terbang pada musim teduh, dan nelayan parengge yang
melakukan penangkapan ikan pada malam hari saja terutama di bulan purnama
dengan memakai rengge atau gaek yaitu sejenis pukat.
Habitat masyarakat
pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan masayarakat diantaranya:
a)
Masyarakat nelayan
tangkap, adalah kelompok
masyarakat pesisir yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan
dilaut. Kelompok ini dibagi lagi dalam
dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap
tradisional. Keduanya kelompok ini dapat
dibedakan dari jenis kapal/peralatan yang digunakan dan jangkauan wilayah
tangkapannya.
b)
Masyarakat nelayan
pengumpul/bakul, adalah kelompok
masyarakt pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan.
Mereka akan mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan
maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual ke
masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal. Umumnya yang menjadi pengumpul ini adalah
kelompok masyarakat pesisir perempuan.
c)
Masayarakat nelayan
buruh, adalah kelompok
masyarakat nelayan yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat
pesisir. Ciri dari mereka dapat terlihat dari kemiskinan yang selalu
membelenggu kehidupan mereka, mereka tidak memiliki modal atau peralatan yang
memadai untuk usaha produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai buruh/anak buah
kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang minim.
d)
Masyarakat nelayan
tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat nelayan
buruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar