Sabtu, 15 Desember 2012

KEBIJAKAN (POLICY) KESEHATAN


1.1. Pengertian
Istilah policy (kebijaksanaan) seringkali penggunaannya saling dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang, ketentutan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar. Bagi para pembuat kebijaksanaan (policy makers) dan para sejawatnya istilah-istilah itu tidaklah akan menimbulkan masalah apapun karena mereka menggunakan referensi yang sama. Namun bagi orang-orang yang berada di luar struktur pengambilan kebijaksanaan istilah-istilah tersebut mungkin akan membingungkan.
        Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa, kebijaksanaan itu diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana dan kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijaksanaan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana (united Nations, 1975).
        Seorang ahli, James E. Anderson (1978), merumuskan kebijaksanaan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Kadangkala orang awam bingung dan tidak dapat membedakan antara kebijaksanaan (policy) dan politik (politics). Namun untuk mudahnya kita harus selalu ingat bahwa istilah policy itu dapat dan memang seyogianya bisa dipergunakan di luar konteks politik. Sebagai ilustrasi, seorang pemilik toko mungkin saja mempunyai kebijaksanaan tertentu di bidang pembelian atau penjualan barang-barang dagangannya, sebuah perusahaan besar dengan diversifikasi usaha yang luas (konglomerasi bisnis) tentu akan mempunyai kebijaksanaan pemasaran (marketing policy), bahkan pemilik rumah mungkin mempunyai kebijaksanaan tertentu yang dimaksudkan untuk memelihara atau mempertahankan harta miliknya. Pada contoh-contoh yang baru saja dikemukakan di atas, kita sebenarnya mengacu pada suatu jenis tindakan yang mengarah pada tujuan tertentu (course of action), yang lebih kurang berkesinambungan sepanjang waktu, dan diharapkan untuk menjaga terpeliharanya keadaan tertentu dan biasanya dimaksudkan untuk memenuhi tujuan-tujuan yang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam pernyataan kebijaksanaan (policy statement). Penjelasan ini sekaligus menegaskan bahwa policy itu adalah suatu tindakan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu dan bukan sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu.
        Makna kebijaksanaan seperti itu sejalan dengan pandangan Prof. Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt, sebagai dikutip oleh Charles O. Jones, yang menyatakan bahwa kebijaksanaan itu ialah a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who make it and those who abide by it (Jones, 1977).
        Dewasa ini istilah kebijaksanaan lebih sering dan secara luas dipergunakan dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan pemerintah serta perilaku negara pada umumnya. Dalam kaitan inilah maka mudah dipahami jika kebijaksanaan itu acapkali diberikan makna sebagai tindakan politik. Makna kebijaksanaan sebagaimana kita kemukakan tadi akan makin jelas bila kita ikuti pandangan seorang ilmuwan politik, Charles Friedrich, yang menyatakan bahwa kebijaksanaan ialah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.
        Mirip dengan definisi Friedrich di atas, Anderson merumuskan kebijaksanaan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Kalau konsep ini kita ikuti, maka ia dengan demikian mendalilkan bahwa perhatian kita dalam mempelajari kebijaksanaan negara ini seyogianya diarahkan pada yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar apa yang ingin dilakukan. Di samping itu konsep tersebut juga membedakan secara tegas antara kebijaksanaan (policy) dan keputusan (decision), yang mengandung arti pemilihan di antara sejumlah alternatif yang tersedia.
Kebijaksanaan (Policy) diberi arti yang bermacam-macam. Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan memberi arti kebijaksanaan sebagai “ a projected of goals, values and practices “ (“ Suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah “)
Pengertian berikutnya dikemukakan oleh James E. Anderson bahwa kebijakan itu adalah : “ A purposive course of action followed by an actors in dealing with a problem or marter of cancern “ (“ serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu “).
Dan Amarataya mengemukakan kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh akerna itu suatu kebijakan memuat tiga elemen yaitu :
a.  Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai
b.  Taktik atau strategik dari berbagai lankah untuk mencapai tujuan yang diinginkan
c.  Penyediaan berbagai input untuk melaksanakan secara nyata dari taktik atau strategi.

1.2. Makna Kebijaksanaan (POLICY)
Di antara kita tentu pernah menyaksikan atau bahkan merasakan sendiri peristiwa-peristiwa berikut: ongkos transportasi kota tiba-tiba naik; barang-barang konsumsi tertentu tiba-tiba lenyap dari pasaran; mahasiswa tidak lagi dapat berdemonstrasi; partai politik tidak lagi dapat beroperasi secara bebas di daerah pedesaan atau penggunaan bahan energi tertentu terpaksa harus dicatu dan lain sebagainya.
Peristiwa-peristiwa-peristiwa yang kita contohkan itu sebenarnya untuk menunjukkan bahwa kebanyakan peristiwa yang berlangsung di sekitar kita bukanlah terjadi secara alami, atau sebagai sesuatu yang terjadi karena proses perkembangan yang normal; Dalam berbagai peristiwa tadi kebijaksanaan negaralah (Public Policy) yang sesungguhnya telah memberikan warna terhadap timbulnya peristiwa tersebut. Dengan kata lain, kebijaksanaan negaralah yang sebenarnya banyak mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari, baik kita sadari atau tidak, mengerti atau tidak.

1.3. Apakah Kebijaksanaan Negara Itu ?
Dalam kepustakaan ilmu kebijaksanaan negara yang hingga kini ribuan jumlahnya, dapat kita temukan berbagai macam definisi mengenai kebijaksanaan negara. Namun, harus diakui sulit untuk mendapatkan definisi yang benar-benar memuaskan, baik lantaran sifatnya yang terlalu luas, kabur, atau lantaran tidak spesifik dan operasional. Karena itulah bagi mereka yang sedang mempelajari ilmu kebijaksanaan negara amat dianjurkan untuk pandai pandai memilih definisi yang tepat, yang sekiranya cocok dengan persoalan yang sedang dibahasnya. Salah satu contoh defini kebijaksanaan negara yang amat luas, ialah definisi yang sebagai dikutip oleh jones berikut ini, yang menjelaskan bahwa kebijaksanaan negara adalah antar hubungan di antara unit pemerintah tertentu dengan lingkungannya. Definisi semacam ini karena terlalu luasnya dapat menyebabkan para mahasiswa kehilangan jejak serta tetap akan tidak mengerti apa hakikat kebijaksanaan negara yang sebenarnya. Definisi lain, dikemukakan oleh Thomas R. Dye (1978) yang menjelaskan bahwa kebijaksanaan negara itu ialah pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah. Definisi Dye ini sekalipun cukup akurat, namun sebenarnya tidak cukup memadai untuk mendeskripsikan kebijaksanaan negara, sebab kemungkinan terdapat perbedaan yang cukup besar antara apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah dengan apa yang senyatanya mereka lakukan. Selain itu definisi ini akan memasukkan pula tindakan-tindakan seperti pengangkatan pegawai, atau pemberian izin, yang biasanya tidaklah dianggap sebagai masalah-masalah kebijaksanaan.
W. I. Jenkins (1978) merumuskan kebijaksanaan negara sebagai “serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi di mana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut). Sedangkan Chief J. O. Udoji (1981), mendefinisikan kebijaksanaan negara sebagai “suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.

1.4. Ciri-Ciri Kebijaksanaan Negara
Ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijaksanaan-kebijaksanaan negara bersuimber pada kenyataan bahwa kebijaksanaan itu dirumuskan oleh apa yang oleh David Easton disebut sebagai orang-orang yang memiliki wewenang dalam sistem politik, yakni para tetua adat, para ketua suku, para eksekutif, para legislator, para hakim, para administrator dan lain sebagainya. Mereka inilah yang menurut Easton, merupakan orang-orang yang dalam kesehariannya terlibat dalam urusan-urusan politik dari sistem dan dianggap oleh sebagian besar warga sistem politik itu sebagai pihak yang bertanggung jawab atas urusan-urusan politik tadi dan berhak untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu sepanjang tindakan-tindakan tersebut masih berada dalam batas-batas peran dan kewenangan mereka.
Penjelasan yang baru dikwmukakan diatas membawa impilkasi tertentu terhdap konsep kebijaksanaan negara, yaitu :
1.   Kebijaksanaan negara lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan.
2.  Kebijaksanaan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri.
3.  Kebijaksanaan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu, misalnya dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, atau menggalakkan program perumahan rakyat bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan bukan hanya sekedar apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tersebut.
4.  Kebijaksanaan negara mungkin berbentuk positif, mungkin pula negatif. Dalam bentuknya yang positif , kebijaksanaan negara mungkin akan mencakup beberapa bentuk tindakan pemerintah yang dimaksudkan untuk mempengaruhi masalah tertentu; sementara dalam bentuk yang negatif, ia kemungkinan meliputi keputusan-keputusan pejabat-pejabat pemerintah untuk tidak bertindak, atau tidak melakukan tindakan apapun dalam masalah-masalah di mana campur tangan pemerintah justru diperlukan.
Hakikat kebijaksanaan negara sebagai jenis tindakan yang mengarah pada tujuan tersebut di atas akan dapat kita pahami lebih baik lagi apabila kebijaksanaan itu kita perinci lebih lanjut ke dalam beberapa kategori, yakni Policy demands (tuntutan kebijaksanaan), Policy decisison (keputusab kebijaksanaan), Policy statement (pernyataan kebijaksanaan), Polici outputs (keluaran kebijaksanaan), dan Policy outcomes (hasil akhir kebijaksanaan)
Perlu diingat bahwa kategori-kategori ii dalam praktek yang sebenarnya tidak mesti terjadi secara runtut. Masing-masing kategori ini akan dibahas secara ringkas dalam uraian berikut :
Tuntutan Kebijaksanaan ialah tuntutan atau desakan yang ditujukan pada pejabat-pejabat pemerintah yang dilakukan oleh aktor-aktor lain, baik swasta maupun kalangan pemerintah sendiri., dalam sistem politik untuk melakukan tindakan tertentu atau sebaliknya untuk tidak berbuat sesuatu terhadap masalah tertentu.
Keputusan kabijaksanaan ialah kepurtusan-keputusan yang dibuat oleh para pejabat pemerintah yang dimaksudkan untuk memberikan keabsahan, kewenangan atau memberikan arah terhadap pelaksanaan kebijaksanaan negara.
Pernyataan kebijaksanaan ialah pernyataan resmi atau artikulasi (penjelasan) mengenai kebijaksanaan negara tertentu. Termasuk dalam hal ini ialah ketetapan-ketetapan MPR, Keputusan Presiden atau dekrit presiden, peraturan-peraturan administratif dan keputusan-keputusan peradilan, maupun pernyataan-pernyataan dan pidato-pidato para pejabat pemerintah yang menunjukkan hasrat dan tujuan pemerintah serta apa yang akan dilaksnakan untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Keluaran kebijaksanaan adalah merupakan wujud kebijaksanaan negara yang paling dapat dilihat dan dirasakan karena menyangkut hal-hal yang senyatanya dilakukan guna merealisasikan apa yang telah digariskan dalam keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan kebijaksanaan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa keluaran-keluaran kebijaksanaan ini ialah menyangkut apa yang dikerjakan oleh pemerintah, yang dapat kita bedakan dari apa yang ingin dikerjakan oleh pemerintah.
Hasil akhir kebijaksanaan adalah akibat-akibat atau dampak yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan sebagai konsekuensi dari adanya tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah dalam bidang-bidang atau masalah-masalah tertentu yang ada dalam masyarakat. Untuk menjelaskan konsepsi tentang hasil akhir kebijaksanaan ini ada baiknya jika kita ambil kebijaksanaan kesempatan kerja penuh (full employment policy) di Indonesia sebagai contoh.
                           
1.5. Mengapa Kebijaksanaan Negara Perlu Dipelajari ?
Para ilmuwan politik pada masa lampau pada umumnya mempunyai minat terhadap proses-proses politik, semisal proses legislatif atau proses pemilihan umu, atau menaruh perhatian terhadap unsur-unsur sistem politik, seperti kelompok kepentingan atau pendapat umum. Sekalipun demikian, bukan berarti bahwa mereka tidak berminat terhadap masalah-maslah kebijaksanaan. Masalah-masalah yang menyangkut kebijaksanaan luar negeri dan kebijaksanaan yang bersangkut paut dengan kebebasan hak-hak sipil pada umumnya telah lama diketahui sebagai lahan studi para ilmuwan politik
Dewasa ini para ilmuwan politik telah semakin meningkatkan perhatian mereka terhadap studi kebijaksanaan negara, yakni suatu studi yang bermaksud untuk menggambarkan, menganalisis dan menjelaskan secara cermat berbagai sebab dan akibat dari tindakan-tindakan pemerintah. Kecenderungan makin meningkatnya perhatian para ilmuwan politik terhadap studi kebijaksanaan negara ini telah dilukiskan secara tepat oleh Prof. Thomas Dye (1978) sebagai berikut:
“ Studi ini mencakup upaya menggambarkan isi kebijaksanaan negara; penilaian mengenai dampak dari kekuatan-kekuatan yang berasal dari lingkungan terhadap isi kebijaksanaan negara; analisis mengenai akibat dari berbagai pengaturan kelembagaan dan proses-proses politik terhadap kebijaksanaan negara; penelitian mendalam mengenai akibat-akibat dari berbagai kebijaksanaan negara terhadap sistem politik; dan evaluasi dampak kebijaksanaan negara pada masyarakat, baik berupa dampak yang diharapkan (yang direncanakan) maupun dampak yang tidak diharapkan”.
Dilihat dari sudut alasan ilmiah, maka kebijaksanaan negara dipelajari dengan maksud untuki memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam mengenai hakikat dan asal mula kebijaksanaan negara, berikut proses-proses yang mengantarkan perkembangannya serta akibat-akibatnya pada masyarakat. Pada gilirannya hal ini akan meningkatkan pemahaman kita mengenai sistem politik dan masyarakat pada umumnya. Dalam kaiatan ini kebijaksanaan mungkin dilihat baik sebagai variabel tergantung (dependent variable) maupun sebagai variabel bebas (independent variable).
Dilihat dari sudut alasan profesional, maka studi kebijaksanaan negara dimaksudkan sebagai upaya untuk menerapkan pengetahuan ilmiah di bidang kebijaksanaan negara guna memecahkan masalah-masalah sosial sehari-hari. Sehubungan dengan ini terkandung suatu pemikiran bahwa apabila kita mengetahui tentang faktor-faktor yang membentuk kebijaksanaan negara, atau akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu, maka wajar jika kita dapat memberikan sesuatu sumbangan berupa nasihat yang bermanfaat bagaimana agar individu, kelompok, atau pemerintah dapat bertindak sedemikian rupa guna mencapai tujuan kebijaksanaan mereka.
Sementara itu dilihat dari sudut alasan politis, maka mempelajari kebijaksanaan negara pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah dapat menempuh kebijaksanaan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat pula. Dengan kata lain, studi kebijaksanaan negara di sini dimaksudkan untuk menyempurnakan kualitas kebijaksanaan negara yang dibuat oleh pemerintah. Dalam hubungannya dengan alasan politis ini perlu kiranya diingat bahwa ada perbedaan yang cukup mendasar antara analisis kebijaksanaan dengan nasihat kebijaksanaan. Analisis kebijaksanaan pada umumnya bersangkut paut dengan penelitian dan penggambaran secara cermat mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan negara. Dalam hal ini biasanya yang dianalisis ialah perumusan, isi dan dampak dari kebijaksanaan negara, misalnya kebijaksanaan dalam bidang perdagangan internasional, kebijaksanaan pertahanan, kebijaksanaan dibidang pendidikan tinggi, kebijaksanaan transportasi dan lain sebagainya, tanpa bersikap menyetujui atau menolaknya. Di lain pihak, nasihat kebijaksanaan biasanya bersangkut paut dengan apa yang sebenarnya diperbuat oleh pemerintah, misalnya dengan menganjurkan ditempuhnya kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu, melalui diskusi atau seminar, persuasi atau tindakan-tindakan politik tertentu, seperti menyampaikan petisi atau memorendum.

Gambar : Kebijaksanaan negara dilihat sebagai
LINGKUNGAN
 
SISTEM POLITIK
 
KEBIJAKSANAAN
NEGARA
 
Kekuatan dan Kondisi Lingkungan
 
Kebijaksanaan
Negara
 
Lembaga, Proses dan Perilaku Politik
 
Variabel bebas dan variabel tergantung













1.6. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Pembuatan Keputusan /Kebijaksanaan
Beberapa faktor yang mampengaruhi pembuatan kebijaksanaan itu adalah sebagai berikut :
a.  Adanya pengaruh tekanan tekanan dari luar              
    Seringkali administrator harus membuat keputusan karna adanya tekanan tekanan dari luar walaupun ada pendekatan pembuatan keputusan dengan nama “rational comprehensive”yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus mempertimbangkan alternatif alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian “rasional’semata, tetapi proses dan prosedur pembuatan keputusan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata sehingga adanya tekanan tekanan terhadap proses pembuatan keputusannya

b.  Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservative).
    Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu sekali diperhitungkan untuk membiayai program-program tertentu, cenderung akan selalu diikuti kebiasaan itu oleh para administrator-kendatipun misalnya keputusan-keputusan yang berkenan dengan itu telah dikritik sebagai salah dan perlu di ubah. Kebiasaan lama itu diikuti lebih-lebih kalau suatu kebijaksanaan yang telah ada dipandang sangat memuaskan.
Kebiasaan-kebiasaan lama tersebut seringkali diwarisi oleh para administrator yang baru dan mereka sering segan secara terang-terangan mengkritik atau rnenyalahkan kebiasaan-kebiasaan lama yang telah berlaku atau yang dijalankan oleh para pendahulunya. Apalagi para administrator baru itu ingin segera menduduki jabatan karirnya.
c.  Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai rnacam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Seperti misalnya dalam proses penerimaan/pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
d.  Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dan para pembuat keputusan juga berpengaruh terhadap pembuatan keputusan. Seperti contoh mengenai masalah pertikaian kerja, pihak-pihak yang bertikai kurang menaruh respek pada upaya penyelesaian oleh orang dalam, tetapi keputusan-keputusan yang diambil oleh pihak-pihak yang dianggap dari luar dapat memuaskan mereka. Seringkali juga pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman-pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar bidang pemerintahan.
e.   Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Pengalaman latihan dan pengalaman (sejarah) pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan keputusan. Seperti misalnya orang sering membuat keputusan untuk tidak melimpahkan sebagian dari wewenang dan tanggungjawabnya kepada orang lain karena khawatir kalau wewenang dan tanggungjawab yang dilimpahkan itu disalahgunakan. Atau juga orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan di lapangan, dan sebagainya.
Di samping adanya faktor-faktor tersebut di atas, Gerald E. Caiden menyebut adanya beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya membuat kebijaksanaan yaitu: sulitnya memperoleh informasi yang cukup, bukti-bukti sulit sulit disimpulkan; adanya pelbagai macam kepentingan yang berbeda mempengaruhi pilihan tindakan yang berbeda-beda pula; dampak kebijaksanaan sulit dikenali; umpan balik keputusan bersifat sporadis; perumusan kebijaksanaan tidak-dimengerti dengan benar dan sebagainya. Selain itu James E. Anderson melihat adanya beberapa macam nilai yang melandasi tingkahlaku pembuat keputusan dalam pembuat keputusan yaitu: (1) nilai-nilai politis – keputusan diabuat atas dasar kepentingan politik dan partai politik atau kelompok kepentingan tertentu; (2). niiai-nilai organisasi (organization values) keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi yang dapat mempengaruhi anggota organisasi untuk menerima dan meIaksanakannya ;( 3). nilai-nilai pribadi  seringkali pula keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan status quo, reputasi, kekayaan dan sebagainya. (4). nilai-nilai kebijaksanaan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijaksanaan tentang kepentingan publik atau pembuatan kebijaksanaan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan, dan (5). nilai-nilai ideologi. Nilai ideologi seperti misalnya nasionalisme dapat menjadi landasan pembuatan kebijaksanaan seperti misalnya kebijaksanaan dalam dan luar negeri.
Kesalahan-kesalahan umum sering terjadi dalam, proses pembuatan keputusan. Nigro & Nigro menyebutkan adanya 7 macam kesalahan-kesalahan umum itu' yaitu :
a.   Cara berpikir yang sempit (cognitive nearsightedness)
Adanya kecenderungan manusia membuat keputusan hanya untuk memenuhi kebutuhan seketika sehingga melupakan antisipasi ke masa depan. Dan adanya lingkungan pemerintahan yang beranekaragam telah menyebabkan pejabat pemerintah sering membuat keputusan dengan dasar-dasar pertimbangan yang sempit dengan tanpa mempertimbangkan implikasinya ke masa depan. Seringkali pula pembuat keputusan hanya mempertimbangkan satu aspek permasalahan saja dengan melupakan kaitannya dengan aspek-aspek lain sehingga gagal mengenali problema nya secara keseluruhan.
b.  Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa lalu (assumption that future will repeat past)
Banyak anggapan yang menyatakan bahwa dalam suatu masa yang stabil orang akan bertingkahlaku sebagaimana para pendahuluannya di masa yang lampau. Tetapi keadaan sekarang lauh dari stabil, karena banyak orang bertingkahlaku dengan cara yang sangat mengejutkan. Kendatipun ada perubahan perubahan yang besar pada perilaku orang-orang, namun masih banyak pejabat pemerintah yang secara picik/buta beranggapan bahwa perubahan-perubahan itu normal dan hal tersebut akan segera kembali seperti sediakala. Padahal di dalam membuat keputusan para pejabat pemerintah tersebut harus meramalkan keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa yang akan datang yang berbeda dengan masa lampau.
c.  Terlampau menyederhanakan sesuatu (over simplification)
Selain adanya kecenderungan untuk berpikir secara sempit, ada pula kecenderungan pembuat keputusan untuk terlampau menyederhanakan sesuatu. Misalnya dalam melihat suatu masalah pembuat keputusan hanya mengamati gejala-gejala masalah tersebut saja dengan tanpa mencoba mempelajari secara mendalam apa sebab-sebab timbulnya masalah tersebut. Cara-cara yang dipakai untuk mengatasi masalahpun dengan menerapkan senjata pamungkas" yang sebenarnya belum atau "tidak" perlu dipakai, karena siapa tahu - dengan pola bertindak sederhana hal tersebut tidak sepenuhnya dapat mengatasi masalahnya malah justru mungkin menimbulkan masalah-masalah baru.
d. Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang (overreliance on one's own experience)
Pada umumnya banyak orang meletakkan bobot yang besar pada pengalaman mereka diwaktu yang lalu dan penilaian pribadi mereka
e.  Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh para konsepsi pembuat keputusan (preconccived nations)
Dalam banyak kasus, keputusan–keputusan seringkali dilandaskan pada prakonsepsinya pembuat keputusan. Hal ini tidak terlalu salah tetapi jelas tidak jujur. Keputusan-keputusan administratif akan lebih baik hasilnya kalau didasarkan pada penemuan-penemuan ilmiah sosial
f. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan (unwill ingness to experiment).
Cara untuk mengetahui apakah suatu keputusan itu dapat diimplementasikan atau tidak adalah dengan mengetesnya secara nyata pada ruang tingkup yang kecil (terbatas). Adanya tekanan waktu, pekerjaan yang menumpuk dan sebagainya menyebabkan pembuat keputusan tidak punya kesempaun melakukan proyek percobaan (pilot project). Atau mungkin ada kecurigaan sementara pihak (anggota-anggota legislatif) bahwa apabila pejabat pemerintah melakukan kegiatan percobaan pada suatu program berarti bahwa landasan pemikiran dalam penyusun program tersebut kurang baik. Selain itu kegiatan-kegiatan percobaan dianggap memboros-boroskan uang saja. Pejabat pemerintah kurang berani bereksperimen karena takut menanggung risiko dan beranggapan bahwa bereksperimen sama saja halnya dengan berjudi. Karena problema-problema yang dihadapi pemerintah semakin besar dan kompleks maka pemerintah harus mampu mendorong pejabat-pejabatnya untuk lebih berani melakukan eksperimen dan berani menanggung risiko.
g.  Keengganan untuk membuat keputusan (reluctance to decide)
Kendatipun mempunyai cukup fakta-fakta beberapa orang enggan untuk membuat keputusan. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap membuat keputusan itu sebagai tugas yang sangat berat, penuh risiko, bisa membuat orang frustasi, kurang adanya dukungan dari lembaga atau atasan terhadap tugas pembuatan keputusan, lemahnya sistem pendelegasian wewenang untuk membuat keputusan, takut menerima kritikan dari orang lain atas keputusan yang telah dibuat dan sebagainya.

1.7. Cara-Cara Untuk Meningkatkan Perumusan Kebijaksanaan
Menurut pengamatan Yehezkel Dror praktek-praktek pembuatan kebiiaksanaan negara sekarang ini masih kurang memuaskan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain pembuat kebijaksanaan kurang mempunyai kepemimpinan politis yang baik, kurang bersifat inovatif dan sebagainya, tetapi yang lebih utarna adalah kekurang-mampuannya dalam memanfaatkan bantuan ilmu-ilmu sosial dan fisika. Menurut Dror untuk meningkatkan proses pembuatan kebijaksanaan diperlukan adanya suatu revolusi ilmiah dalam bentuk ilmu-ilmu kebijaksanaan yang baru dengan paradigma yang baru. llmu kebijaksanaan yang baru itu harus memuat teknik-teknik yang membantu proses pembuatan kebijaksanaan.
Sesuai dengan pendapat Dror tentang paradigma yang baru tersebut, maka ilmu-ilmu kebijaksanaan seharusnya:
a.  Berhubungan terutama dengan sistem-sistem pembinaan masyarakat, khususnya sistem perumusan kebijaksanaan negara. Hal tersebut tidak secara langsung menyangkut mengenai isi kebijaksanaan itu, tetapi mengnai metode-metode, pengetahuan-pengetahuan dan sistem-sistem yang telah diperbarui untuk pembuatan kebijaksanaan yang lebih baik.
b.  Memusatkan perhatiannya pada sistem-sistem pembuatan kebijaksanaan negara pada jenjang makro (subnasional, nasional dan transnasional). Namun juga perlu memperhatikan proses pembuatan keputusan individual, kelompok dan orgnisasi dilihat dari perspektif pembuatan kebijaksanaan negara.
c.  Bersifat interdisipliner, dengan memfusikan ilmu-ilmu perilaku dan manajemen sefta menyerap elemen-elemen yang relevan dari disiplin-disiplin ilmu pengetahuan lainnya seperti ilmu fisika dan teknik.
d.  Menggabungkan penelitian murni dan terapan, dimana dunia nyata adalah merupakan laboratoriumnya yang utama.
e.  Memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman para pembuat kebijaksanaan dan melibatkan mereka sebagai partner dalam membangun ilmu-ilmu kebijaksanaan.
f.   Mencoba untuk menyumbangkan pada pilihan nilai dengan meneliti implikasi-implikasi nilai tersebut dan isi nilai-nilai yang ada pada kebijaksanaan-kebilaksanaan alternatif .
g.  Mendorong adanya "kreativitas yang terorganisir" seperti dalam menemukan alternatif-alternatif yang baru.
h.  Menekankan baik pada pengembangan-pengembangan pembuatan kebijaksanaan masa lalu maupun antisipasinya pada masa depan sebagai pedoman pembuatan kebijaksanaan.
i.   Terlibat secara intensif dengan proses perubahan dan dengan kondisi-kondisi perubahan sosial.
j.   menghargai proses pembuatan kebijaksanaan ekstra rasional dan irasional seperti intuisi dan kharisma dan mencoba memperbaiki proses ini dengan cara rasional.
k.  Mendorong percobaan (eksperimentasi) sosial dan usaha-usaha untuk menemukan lembaga-lembaga sosial yang baru dan hukum-hukum baru bagi perilaku sosial dan politik .
l.   Mempunyai kesadaran akan dirinya sendiri dan secara tetap memonitor serta mendesain kembali ilmu-ilmu kebijaksanaan.
m.Menyiapkan para profesional untuk memenuhi jabatan-jabatan pembuat keputusan yang tidak akan mencampurkan missinya atau identifikasi dirinya dengan orientasi klinis dan analisa rasional terhadap masalah-masalah kebijaksanaan.
n.  Berhati-hati dalam membuktikan kebenaran dan keberhasilan dan mempertahankan standar ilmiah.

1.8. Beberapa Macam Model Perumusan Kebijaksanaan
Yehezkel Dror mengemukakan adanya 7 (tujuh) macam model pembuatan keputusan yaitu :
a.  Pure Rationality Model
Model ini memusatkan perhatiannya pada pengembangan suatu pola pembuatan keputusan yang ideal secara universal, dimana keputusan-keputusan tersebut harus dibuat setepat-tepatnya.
b.  Economically Rational Model
Model ini sama dengan model yang pertama tetapi lebih ditekankan pada pembuatan keputusan yang paling ekonomis dan paling efisien.
c.   Sequential - Decision Model
Model ini memusatkan perhatiannya pada pembuatan eksperimen dalam rangka menentukan pelbagai macam alternatif sehingga dapat dibuat zuatu kebijaksanaan yang paling efektif.
d.   lncremental Model
Model yang keempat ini berasal dari teorinya Charles E. Lindblom yang terkenal dengan sebutan "muddling through" menjelaskan bagaimana kebijaksanaan itu dibuat. Kebijaksanaan dibuat, atas dasar "perubahan yang sedikit" dari kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ada sebelumnya, jadi kebijaksanaan yang lama dipakai sebagai dasar /pedoman untuk membuat kebijaksanaan yang baru.
e.  Satisfying Model
Model ini didasarkan atas teori "satisficing" dari Herbert A. Simon. Pendekatannya dipusatkan pada proses pemllihan alternatif kebijaksanaan pertama yang paling memuaskan dengan tanpa bersusah-payah menilai alternatif-alternatif yang lain.
f.   Extra - Rational Model
Model ini didasarkan atas proses pembuatan keputusan yang sangat rasional untuk menciptakan metode pembuatan kebijaksanaan yang paling optimal.
g.   Optimal Model
Ini adalah merupakan suatu model yang integratif (gabungan) yang memusatkan perhatiannya pada pengidentifikasian nilai-nilai, kegunaan praktis dari pada kebijaksanaan dan masalah-masalahnya. Semuanya itu ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah dengn memperhatikan alokasi sumber-sumber, penentuan tuiuan yang hendak dicapai, pemilihan alternatif-alternatif program, peramalan hasil-hasil dan pengevaluasian alternatif-alternatif terbaik. Keputusan-keputusan dibuat atas dasar pilihan-pilihan alternatif yang dapat diterima (acceptable).



1.9. Teori Teori Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan mengandung arti pemilihan altematif terbaik dari sejumlan Atematif yang tersedia. Teori-teori pengambilan keputusan bersangkut paut dengan masalah bagaimana pilihan-pilihan semacam itu dibuat. Kebijaksanaan, sebagai telah kita rumuskan di muka, adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan suatu masalah atau persoalan tertentu. Secara tipikal pembuatan kebijaksanaan merupakan tindakan yang berpola, yang dilakukan sepanjang waktu dan melibatkan banyak keputusan yang di antaranya ada yang merupakan keputusan rutin, ada yang tidak rutin.
Teori Rasional Komprehensif
Unsur-unsur utama dari teori ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.   Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain.
2.  Tujuan-tujuan,  nilai-nilai, atau sasaran yang mempedomani pembuat keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan rangkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya.
3.  Pelbagai altenatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara saksama.
4.  Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditmbulkan oleh setiap  altenatif yang dipilih diteliti.
5.  Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya, dapat diperbandingkan dengan alternatif-altenatif lainnya.
6.  Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat-akibatnya, yang dapat  memaksimasi tercapainya tujuan, nilai atau sasaran yang telah digariskan.
Teori rasional komprehensif banyak mendapatkan kritik dan kritik yang paling tajam berasal dari seorang ahli Ekonomi dan Matematika Charles Lindblom (1965 , 1964' 1959)' Lindblom secara tegas menyatakan bahwa para pembuat keputusan itu sebenarya tidaklah berhadapan dengan masalah-masalah yang konkrit dan terumuskan dengan jelas.
Lebih lanjut, pembuat keputusan kemungkinan juga sulit untuk memilah-milah secara tegas antara nilai-nilainya sendiri dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat. Asumsi penganjur model rasionar bahwa antara fakta-fakta dan nilai-nilai dapat dengan mudah dibedakan, bahkan dipisahkan, tidak pemah terbukti dalam kenyataan sehari-hari. Akhirnya, masih ada masalah yang disebut ,,sunk_cost,,. Keputusan-keputusan, kesepakatan-kesepakatan dan investasi terdahulu dalam kebijaksanaan dan program-program yang ada sekarang kemungkinan akan mencegah pembuat keputusan untuk membuat keputusan yang berbeda sama sekali dari yang sudah ada.
Untuk konteks negara-negara sedang berkembang, menurut R's. Milne (1972), mode irasionar komprehensif ini jelas tidak akan muduh diterapkan. Sebabnya ialah: informasi/datastatistik tidak memadai ; tidak memadainya perangkat teori yang siap pakai untuk kondisi- kondisi negara sedang berkembang ; ekologi budaya di mana sistem pembuatan keputusan itu beroperasi juga tidak mendukung birokrasi di negara sedang-berkembang umumnya dikenal amat lemah dan tidak sanggup memasok unsur-unsur rasionar dalam pengambilan keputusan.

Teori Inkremental
Teori inkremental dalam pengambilan keputusan mencerminkan suatu teori pengambilan keputusan yang menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan (seperti daram teori rasional komprehensif) dan, pada saat yang sama, merupakan teori yang lebih banyak menggambarkan cara yang ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam mengambil kepurusan sehari-hari.
Pokok-pokok teori inkremental ini dapat diuraikan sebagai berikur.
a.  Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan empiris yang diperlukan untuk mencapainya dipandang sebagai sesuatu hal yang saling terkait daripada sebagai sesuatu hal yang saling terpisah.
b.  Pembuat keputusan dianggap hanya mempertimbangkan beberapa altematif yang langsung berhubungan dengan pokok masalah dan altematif-alternatif ini hanya dipandang berbeda secara inkremental atau marginal bila dibandingkan dengan kebijaksanaan yang ada sekarang.
c.  Bagi tiap altematif hanya sejumlah kecil akibat-akibat yang mendasar saja yang akan dievaluasi.
d.  Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan akan  didedifinisikan secara teratur. Pandangan inkrementalisme memberikan kemungkin untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana serta sarana dan tujuan sehingga menjadikan dampak dari masalah itu lebih dapat ditanggulangi.
e.  Bahwa tidak ada keputusan atau cara pemecahan yang tepat bagi tiap masalah. Batu uji bagi keputusan yang baik terletak pada keyakinan bahwa berbagai analisis pada akhirnya akan sepakat pada keputusan tertentu meskipun tanpa menyepakati bahwa keputusan itu adalah yang paling tepat sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
f.   Pembuatan keputusan yang inkremental pada hakikatnya bersifat  perbaikan-perbaikan kecil dan hal ini lebih diarahkan untuk memperbaiki ketidaksempunaan dari upaya-upaya konkrit dalam mengatasi masalahsosial yang ada sekarang daripada sebagai upaya untuk menyodorkan tujuan-tujuan sosial yang sama sekali baru di masa yang akan datang.
Keputusan-keputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pada hakikatnya merupakan produk dari saling memberi dan menerima dan saling percaya di antara pelbagai pihak yang terlibat dalam proses keputusan tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya majemuk paham lnkremental ini secara politis lebih aman karena akan lebih gampang untuk mencapai kesepakatan apabila masalatr-masalah yang diperdebatkan oleh pelbagai kelompok yang terlibat hanyalah bersifat upaya untuk memodifikasi terhadap program-program yang sudah ada daripada jika hal tersebut menyangkut isu-isu kebijaksanaan mengenai perubahan-perubahan yang radikal yang memiliki sifat " ambil semua atau tidak sama sekali. Karena para pembuat keputusan itu berada dalam keadaan yang serba tidak pasti khususnya yang menyangkut akibat-akibat dari tindakan-tindakan mereka di masa datang, maka keputusan yang bersifat inkremental ini akan dapat mengurangi resiko dan biaya yang ditimbulkan oleh suasana ketidakpastian itu. Paham inkremental ini juga cukup realistis karena ia menyadari bahwa para pembuat keputusan sebenamya kurang waktu, kurang pengalaman dan kurang sumber-sumber lain yang diperlukan untuk melakukan analisis yang komprehensif terhadap semua altematif untuk memecahkan masalah-masalah yang ada.

Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scanning Theory)
Penganjur teori ini adalah ahli sosiologi organisasi Amitai Etzioni. Etzioni setuju terhadap kritik-kritik para teoritisi inkremental yang diarahkan pada teori rasional komprehensif, akan tetapi ia juga menunjukkan adanya beberapa kelemahan yang terdapat pada teori inkremental. Misalnya, keputusan-keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan penganut model inkremental akan lebih mewakili atau mencerminkan kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang kuat dan mapan serta kelompok-kelompok yang mampu mengorganisasikan kepentingannya dalam masyarakat, sementara itu kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang lemah dan yang secara politis tidak mampu mengorganisasikan kepentingannya praktis akan terabaikan. Iebih lanjut" dengan memusatkan perhatiannya pada kepentingan/tujuan jangka pendek dan hanya berusaha untuk memperhatikan variasi yang terbatas dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada sekarang, maka model inkremental cenderung mengabaikan peluang bagi perlunya pembaruan sosial (social inovation) yang mendasar. Oleh karena itu, menurut Yehezkel Dror (1968) gaya inkremental dalam pembuatan keputusan cenderung menghasilkan kelambanan dan terpeliharanya status quo, sehingga merintangi upaya menyempurnakan proses pembuatan keputusan itu sendiri. Bagi sarjana seperti Dror-- yang pada dasamya merupakan salah seorang penganjur teori rasional yang terkemuka -- model inkremental ini justru dianggapnya merupakan strategi yang tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara sedang berkembang, sebab di negara-negara ini perubahan yang kecil-kecilan (inkremental) tidaklah memadai guna tercapainya hasil berupa perbaikan-perbaikan besar-besaran.

Kriteria pengambilan Keputusan
Menurut konsepsi Anderson, nilai-nilai yang kemungkinan menjadi pedoman perilaku para pembuat keputusan itu dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:
Nilai-nilai Politik. Pembuat keputusan mungkin melakukan penilaian atas altematif kebijaksanaan yang dipilihnya dari sudut pentingnya altematif-altematil itu bagi partai politiknya atau bagi kelompok-kelompok klien dari badan atau organisasi yang dipimpinnya. Keputusan-keputusan yang lahir dari tangan para pembuat keputusan seperti ini bukan mustahil dibuat demi keuntungan politik' dan kebijaksanaan dengan demikian akan dilihat sebagai instrumen untuk memperluas pengaruh-pengaruh politik atau untuk mencapai tujuan dan kepentingan dari partai politik atau tujuan dari kelompok kepentingan yang bersangkutan.
Nilai-nilai organisasi. Para pembuat kepurusan, khususnya birokrat (sipil atau militer), mungkin dalam mengambil keputusan dipengaruhi oleh nilai-nilai organisasi di mana ia terlibat di dalamnya' Organisasi, semisal badan-badan administrasi, menggunakan berbagai bentuk ganjaran dan sanksi dalam usahanya untuk memaksa para anggotanya menerima, dan bertindak sejalan dengan nilai-nilai yang telah digariskan oleh organisasi.
Nilai-nitai Pribadi. Hasrat untuk melindungi atau memenuhi kesejateraan atau kebutuhan fisik atau kebutuhan finansial' reputasi diri, atau posisi historis kemungkinan juga digunakan- oleh para pembuat teputusan sebagai kriteria dalam pengambilan keputusan.
Nilai-nilai Kebijaksanaan. Dari perbincangan di atas, satu hal hendaklah dicamkan, yakni janganlah kita mempunyai anggapan yang sinis dan kemudian menarik kesimpulan bahwa para pengambil keputusan politik ini semata-mata hanyalah dipengaruhi oleh pertimbangan-penimbangan demi keuntungan politik, organisasi atau pribadi. Sebab, para pembuat keputusan mungkin pula bertindak berdasarkan atas penepsi mereka terhadap kepentingan umum atau keyakinan tertentu mengenai kebijaksanaan negara apa yang sekiranya secara moral tepat dan benar. Seorang wakil rakyat yang mempejuangkan undang-undang hak kebebasan sipil mungkin akan bertindak sejalan dengan itu karena ia yakin bahwa tindakan itulah yang secara moral benar, dan bahwa persamaan hak-hak sipil itu memang merupakan tujuan kebijaksanaan negara yang diinginkan, tanpa mempedulikan bahwa perjuangan itu mungkin akan menyebabkannya mengalami resiko-resiko politik yang fatal.
Nilai-nilai Ideologis. Ideologi pada hakikatnya merupakan serangkaian nilai-nilai dan keyakinan yang secara logis saling berkaitan yang mencerminkan gambaran sederhana mengenai dunia serta berfungsi sebagai pedoman benindak bagi masyarakat yang meyakininya. Di berbagai negara sedang berkembang di kawasan Asia, Afrika dan Timur Tengah nasionalisme yang mencerminkan hasrat dari orang-orang atau bangsa yang bersangkutan untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri - telah memberikan peran penting dalam mewamai kebijaksanaan luar negeri maupun dalam negeri mereka. Pada masa gerakan nasional menuju kemerdekaan, nasionalisme telah berfungsi sebagai minyak bakar yang mengobarkan semangat perjuangan bangsa-bangsa di negara-negara sedang berkembang melawan kekuatan kolonial.

Aktor-aktor Yang Berperan Dalam Proses Kebijaksanaan
Dalam proses kebijaksanaan, menurut Charles O. Jones, sedikitnya ada 4 (empat) golongan atau ripe aktor (pelaku) yang terlibat, yakni : golongan rasionalis, golongan teknisi, golongan inkrementalis, dan golongan reformis. Sungguhpun demikian, patut hendaknya diingat bahwa pada kesempatan tertentu dan untuk suatu jenis isu tertentu kemungkinan hanya satu atau dua golonga aktor tertentu yang berpengaruh dan aktif terlibat. Peran yang dimainkan oleh keempat golongan aktor tersebut dalam proses kebijaksanaan, nilai-nilai dan tujuan yang mereka kejar serta gaya kerja mereka berbeda satu sama lain.

Golongan Rasionalis. Ciri-ciri utama dari kebanyakan golongan aktor rasionalis ialatl batrwa dalam melakukan pilihan altematif kebijaksanaan mereka selalu menempuh metode dan langkah-langkah berikut 1) mengidentifikasikan masalah; 2) merumuskan tujuan dan menysunnya dalam jenjang tertentu; 3) mengidentifikasikan semua altematif kebijaksanaan; 4) meramalkan atau memprediksi akibat-akibat dari tiap altematif; 5) membandingkan akibat-akibat tersebut dengan selalu mengacu pada tujuan; 6) dan memilih alternatif terbaik.
Berdasarkan pada ciri-ciri tersebut, maka perilaku golongan aktor rasionalis ini identik dengan peran yang dimainkan oleh para perencana dan analis kebijaksanaan yang profesional yang amat terlatih dalam menggunakan metode-metode rasional apabila menghadapi masalah-masalah publik.
Dengan metode rasional ini diasumsikan bahwa segala tujuan dapat ditetapkan sebelumnya dan bahwa informasi/data yang serba lengkap dapat disediakan. Oleh sebab itu gaya kerja golongan rasionalis cenderung seperti gaya kerja seoriang perencana yang komprehensif, yakni seorang yang berusaha untuk menganalisis semua aspek dari setiap isu yang mucul dan menguji setiap altematif yang mungkin berikut semul akibat dan dukungannya terhadap tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.

Golongan Teknisi. Seorang teknisi pada dasamya tidak lebih dari rasionalis, sebab ia adalah seorang yang karena bidang keahliannya atau spesialisasinya dilibatkan dalam beberapa tahapan proses kebijaksanaan. Golongan teknisi dalam melaksanakan fugasnya boleh jadi memiliki kebebasan, namun kebebasan ini sebatas pada lingkup pekerjaan dan keahliannya. Nilai_nilai yang mereka yakini adalah nilai-nilai yang berkaitan erat dengan latar belakang keahlian profesional mereka, misalnya sebagai insinyur elektro, ahli informatika dan ilmu komputer, ahli fisika, ahli statistika dan lain sebagainya. Tujuan yang ingin dicapai biasanya ditetapkan oleh pihak lain, mungkin oleh salah satu di antara golongan aktor yang telah kita sebutkan di atas, atau boleh jadi gabungan dari golongan-golongan aktor tersebu.  Golongan teknisi umumya menunjukkan rasa antusiasrne dan rasa percaya diri yang tinggi apabila mereka diminta untuk bekerja dalam batas-batas pendidikan dan keahliannya, namun cenderung enggan untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan yang amat luas melampaui batas-batas keahliannya tersebut.

Golongan inkrementalis. Golongan aktor inkrementalis ini dapat kita identikkan dengan para politisi. para politisi, sebagaimana kita ketahui, cenderung memiliki sikap kritis namun acapkali tidak sabaran terhadap gaya kerja para perencana dan teknisi, walaupun mereka sebenarnya amat tergantung pada apa yang dikerjakan oleh para perencana dan para teknisi. Golongan inkrementalis pada umumnya meragukan bahwa sifat yang komprehensif dan serba rasional itu merupakan sesuatu yang mungkin dalam dunia yang amat penuh dengan ketidaksempurnaan ini. Golongan inkrementalis memandang tahap-tahap perkembangan kebijaksanaan dan implementasinya sebagai suatu rangkaian proses penyesuaian yang terus menerus terhadap hasil akhir (yang berjangka dekat maupun yang berjangka panjang) dari suatu tindakan. Bagi golongan inkrementalis, informasi dan pengetahuan yang kita miliki tidak akan pemah mencukupi untuk menghasilkan suatu program kebijaksanaan yang lengkap. Oleh sebab itu pada umumnya mereka sudah cukup puas dengan melakukan perubahan-perubahan kecil. Nilai-nilai yang terkait dengan metode pendekatan ini ialah hal-hal yang berhubungan dengan masa lampau atau hal-hal yang berhubungan dengan terpeliharutya status quo --- kestabilan dari sistem dan terpeliharanya status quo.

Golongan Reformis (Pembaharu). seperti halnya golongan inkrementalis, golongan aktor reformis pada dasamya juga mengakui akan terbatasnya informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam proses kebijaksanaan, sekalipun berbeda dalam cara menarik kesimpulan. Golongan inkrementalis berpendirian bahwa keterbatasan informasi dan pengetahuan itulah yang mendikte gerak dan langkah dalam proses pembuatan kebijaksanaan. Dalam kaitan ini Braybrooke dan Lindblom mengatakan, bahwa hanyalah kebijaksanaan-kebij aksanaan yang sebelumnya telah dikenal, dan yang akibat-akibatnya menimbulkan perubahan kecil pada apa yang sudah ada yang akan dipertimbangkan pendekatan seperti ini bagi golongan reformis (yang notabene menghendaki perubahan sosial), dianggap terlampau konservatif.
Pendekatan semacam itu umumnya ditempuh oleh para Lobbyist (orang-orang yang berperan selaku juru kasak-kasuk/Frerunding di parlemen). Nilai-nilai yang mereka junjung tinggi ialah yang berkaitan dengan upaya untuk melakukan perubahan sosial, kadang kala demi perubatran sosial ini sendiri, namun lebih sering bersangkut paut dengan Lepentingan kelompok-kelompok tertentu. Tujuan kebijaksanaan biasanya ditetapkan dalam lingkungan kelompok-kelompok tersebut, melalui berbagai macam proses, termasuk di antanmya atas dasar keyakinan pribadi bahwa hasil akhir dari tindakan pemerintah sekarang telah melenceng arahnya atau batrkan gagal. Karena itu gaya kerja golongan aktor reformis ini umumnya sangat radikal, kerapkali disertai dengan tindakan-tindkan demonstrasi dan konfrontasi dengan pihak pemerintah.
Melihat perbedaan-perbedaan perilaku keempat golongan aktor yang terlibat datam proses kebijaksanaan tersebut, tidak heran jika masing-masing golongan aktor itu saling mengecam. Golongan rasionalis sering aitecam/dikritik tidak memahami kodrat manusia. Braybrooke dan Lindblom, sebagai penganjur teori inkrementalis, malahan menyatakan bahwa lolongan aktor rasionalis itu terlalu idealistis sehingga tidak cocok dengan keterbatasan kemampuan manusia dalam mengatasi masalah. Sementara itu golongan aktor teknisi kerapkali dituduh memiliki pandangan yang picik karena hanya peduli terhadap masalah-masalah sempit sebatas pada bidang keahliannya semata dan kurang peduli terhadap masalah-masalah publik yang luas, yang kemungkinan melampaui bidang keahlian yang dikuasainya. Golongan aktor inkrementalis di lain pihak, seringkali dianggap memiliki sikap konservatif sebab mereka tidak terlalu tanggap terhadap perubahan sosial atau bentuk-bentuk inovdsi yang lain. Akhirnya golongan aktor reformis seringkali dituduh mau menangnya sendiri, tidak sabaran, tidak kenal kompromi dan karena itu tidak realistis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar