1.1. Pengertian
Istilah policy
(kebijaksanaan) seringkali penggunaannya saling dipertukarkan dengan
istilah-istilah lain seperti tujuan (goals) program, keputusan,
undang-undang, ketentutan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan
besar. Bagi para pembuat kebijaksanaan (policy makers) dan para sejawatnya
istilah-istilah itu tidaklah akan menimbulkan masalah apapun karena mereka
menggunakan referensi yang sama. Namun bagi orang-orang yang berada di luar
struktur pengambilan kebijaksanaan istilah-istilah tersebut mungkin akan
membingungkan.
Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa, kebijaksanaan itu
diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat
sederhana dan kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau
jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik
atau privat. Kebijaksanaan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu
deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu,
suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana
(united Nations, 1975).
Seorang ahli, James E. Anderson (1978), merumuskan
kebijaksanaan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi
pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
Kadangkala orang awam bingung dan tidak dapat membedakan antara kebijaksanaan
(policy) dan politik (politics). Namun untuk mudahnya kita harus selalu ingat
bahwa istilah policy itu dapat dan memang seyogianya bisa dipergunakan di luar
konteks politik. Sebagai ilustrasi, seorang pemilik toko mungkin saja mempunyai
kebijaksanaan tertentu di bidang pembelian atau penjualan barang-barang
dagangannya, sebuah perusahaan besar dengan diversifikasi usaha yang luas
(konglomerasi bisnis) tentu akan mempunyai kebijaksanaan pemasaran (marketing
policy), bahkan pemilik rumah mungkin mempunyai kebijaksanaan tertentu yang
dimaksudkan untuk memelihara atau mempertahankan harta miliknya. Pada
contoh-contoh yang baru saja dikemukakan di atas, kita sebenarnya mengacu pada
suatu jenis tindakan yang mengarah pada tujuan tertentu (course of action),
yang lebih kurang berkesinambungan sepanjang waktu, dan diharapkan untuk
menjaga terpeliharanya keadaan tertentu dan biasanya dimaksudkan untuk memenuhi
tujuan-tujuan yang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam pernyataan
kebijaksanaan (policy statement). Penjelasan ini sekaligus menegaskan bahwa policy
itu adalah suatu tindakan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu dan bukan
sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu.
Makna kebijaksanaan seperti itu sejalan dengan pandangan
Prof. Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt, sebagai dikutip oleh Charles O. Jones,
yang menyatakan bahwa kebijaksanaan itu ialah a standing decision
characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both
those who make it and those who abide by it (Jones, 1977).
Dewasa ini istilah kebijaksanaan lebih sering dan secara luas
dipergunakan dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan
pemerintah serta perilaku negara pada umumnya. Dalam kaitan inilah maka mudah
dipahami jika kebijaksanaan itu acapkali diberikan makna sebagai tindakan
politik. Makna kebijaksanaan sebagaimana kita kemukakan tadi akan makin jelas
bila kita ikuti pandangan seorang ilmuwan politik, Charles Friedrich, yang
menyatakan bahwa kebijaksanaan ialah suatu tindakan yang mengarah pada
tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan
tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari
peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.
Mirip dengan definisi Friedrich di atas, Anderson merumuskan kebijaksanaan
sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor
atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu
yang dihadapi. Kalau konsep ini kita ikuti, maka ia dengan demikian
mendalilkan bahwa perhatian kita dalam mempelajari kebijaksanaan negara ini
seyogianya diarahkan pada yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah dan bukan
sekedar apa yang ingin dilakukan. Di samping itu konsep tersebut juga
membedakan secara tegas antara kebijaksanaan (policy) dan keputusan
(decision), yang mengandung arti pemilihan di antara sejumlah alternatif
yang tersedia.
Kebijaksanaan (Policy) diberi arti yang
bermacam-macam. Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan memberi arti
kebijaksanaan sebagai “ a projected of goals, values and practices “ (“ Suatu
program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah “)
Pengertian berikutnya
dikemukakan oleh James E. Anderson bahwa kebijakan itu adalah : “ A
purposive course of action followed by an actors in dealing with a problem or
marter of cancern “ (“ serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang
diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna
memecahkan suatu masalah tertentu “).
Dan Amarataya mengemukakan kebijakan
sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan.
Oleh akerna itu suatu kebijakan memuat tiga elemen yaitu :
a. Identifikasi dari tujuan
yang ingin dicapai
b. Taktik atau strategik
dari berbagai lankah untuk mencapai tujuan yang diinginkan
c. Penyediaan berbagai
input untuk melaksanakan secara nyata dari taktik atau strategi.
1.2. Makna Kebijaksanaan (POLICY)
Di antara kita tentu
pernah menyaksikan atau bahkan merasakan sendiri peristiwa-peristiwa berikut:
ongkos transportasi kota tiba-tiba naik; barang-barang konsumsi tertentu
tiba-tiba lenyap dari pasaran; mahasiswa tidak lagi dapat berdemonstrasi;
partai politik tidak lagi dapat beroperasi secara bebas di daerah pedesaan atau
penggunaan bahan energi tertentu terpaksa harus dicatu dan lain sebagainya.
Peristiwa-peristiwa-peristiwa
yang kita contohkan itu sebenarnya untuk menunjukkan bahwa kebanyakan peristiwa
yang berlangsung di sekitar kita bukanlah terjadi secara alami, atau sebagai
sesuatu yang terjadi karena proses perkembangan yang normal; Dalam berbagai
peristiwa tadi kebijaksanaan negaralah (Public Policy) yang sesungguhnya telah
memberikan warna terhadap timbulnya peristiwa tersebut. Dengan kata lain,
kebijaksanaan negaralah yang sebenarnya banyak mempengaruhi kehidupan kita
sehari-hari, baik kita sadari atau tidak, mengerti atau tidak.
1.3. Apakah Kebijaksanaan Negara Itu ?
Dalam kepustakaan ilmu
kebijaksanaan negara yang hingga kini ribuan jumlahnya, dapat kita temukan
berbagai macam definisi mengenai kebijaksanaan negara. Namun, harus diakui
sulit untuk mendapatkan definisi yang benar-benar memuaskan, baik lantaran
sifatnya yang terlalu luas, kabur, atau lantaran tidak spesifik dan
operasional. Karena itulah bagi mereka yang sedang mempelajari ilmu
kebijaksanaan negara amat dianjurkan untuk pandai pandai memilih definisi yang
tepat, yang sekiranya cocok dengan persoalan yang sedang dibahasnya. Salah satu
contoh defini kebijaksanaan negara yang amat luas, ialah definisi yang sebagai
dikutip oleh jones berikut ini, yang menjelaskan bahwa kebijaksanaan negara
adalah antar hubungan di antara unit pemerintah tertentu dengan lingkungannya. Definisi
semacam ini karena terlalu luasnya dapat menyebabkan para mahasiswa kehilangan
jejak serta tetap akan tidak mengerti apa hakikat kebijaksanaan negara yang
sebenarnya. Definisi lain, dikemukakan oleh Thomas R. Dye (1978) yang
menjelaskan bahwa kebijaksanaan negara itu ialah pilihan tindakan apapun
yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah. Definisi Dye ini
sekalipun cukup akurat, namun sebenarnya tidak cukup memadai untuk
mendeskripsikan kebijaksanaan negara, sebab kemungkinan terdapat perbedaan yang
cukup besar antara apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah dengan apa yang
senyatanya mereka lakukan. Selain itu definisi ini akan memasukkan pula
tindakan-tindakan seperti pengangkatan pegawai, atau pemberian izin, yang
biasanya tidaklah dianggap sebagai masalah-masalah kebijaksanaan.
W. I. Jenkins (1978)
merumuskan kebijaksanaan negara sebagai “serangkaian keputusan yang saling
berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik
berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya
dalam suatu situasi di mana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih
berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut).
Sedangkan Chief J. O. Udoji (1981), mendefinisikan kebijaksanaan negara sebagai
“suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang
diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling
berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.
1.4. Ciri-Ciri Kebijaksanaan Negara
Ciri-ciri khusus yang
melekat pada kebijaksanaan-kebijaksanaan negara bersuimber pada kenyataan bahwa
kebijaksanaan itu dirumuskan oleh apa yang oleh David Easton disebut sebagai
orang-orang yang memiliki wewenang dalam sistem politik, yakni para tetua adat,
para ketua suku, para eksekutif, para legislator, para hakim, para
administrator dan lain sebagainya. Mereka inilah yang menurut Easton, merupakan
orang-orang yang dalam kesehariannya terlibat dalam urusan-urusan politik dari
sistem dan dianggap oleh sebagian besar warga sistem politik itu sebagai pihak
yang bertanggung jawab atas urusan-urusan politik tadi dan berhak untuk
mengambil tindakan-tindakan tertentu sepanjang tindakan-tindakan tersebut masih
berada dalam batas-batas peran dan kewenangan mereka.
Penjelasan yang baru
dikwmukakan diatas membawa impilkasi tertentu terhdap konsep kebijaksanaan
negara, yaitu :
1.
Kebijaksanaan negara lebih merupakan tindakan yang
mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak
dan kebetulan.
2. Kebijaksanaan pada
hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang
mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah
dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri.
3. Kebijaksanaan bersangkut
paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang
tertentu, misalnya dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, atau
menggalakkan program perumahan rakyat bagi golongan masyarakat berpenghasilan
rendah dan bukan hanya sekedar apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah dalam
bidang-bidang tersebut.
4. Kebijaksanaan negara
mungkin berbentuk positif, mungkin pula negatif. Dalam bentuknya yang positif ,
kebijaksanaan negara mungkin akan mencakup beberapa bentuk tindakan pemerintah
yang dimaksudkan untuk mempengaruhi masalah tertentu; sementara dalam bentuk
yang negatif, ia kemungkinan meliputi keputusan-keputusan pejabat-pejabat
pemerintah untuk tidak bertindak, atau tidak melakukan tindakan apapun dalam
masalah-masalah di mana campur tangan pemerintah justru diperlukan.
Hakikat kebijaksanaan
negara sebagai jenis tindakan yang mengarah pada tujuan tersebut di atas akan
dapat kita pahami lebih baik lagi apabila kebijaksanaan itu kita perinci lebih
lanjut ke dalam beberapa kategori, yakni Policy demands (tuntutan
kebijaksanaan), Policy decisison (keputusab kebijaksanaan), Policy statement
(pernyataan kebijaksanaan), Polici outputs (keluaran kebijaksanaan), dan Policy
outcomes (hasil akhir kebijaksanaan)
Perlu diingat bahwa
kategori-kategori ii dalam praktek yang sebenarnya tidak mesti terjadi secara
runtut. Masing-masing kategori ini akan dibahas secara ringkas dalam uraian
berikut :
Tuntutan Kebijaksanaan ialah tuntutan atau desakan yang ditujukan pada
pejabat-pejabat pemerintah yang dilakukan oleh aktor-aktor lain, baik swasta
maupun kalangan pemerintah sendiri., dalam sistem politik untuk melakukan
tindakan tertentu atau sebaliknya untuk tidak berbuat sesuatu terhadap masalah
tertentu.
Keputusan kabijaksanaan ialah kepurtusan-keputusan yang dibuat oleh para pejabat
pemerintah yang dimaksudkan untuk memberikan keabsahan, kewenangan atau
memberikan arah terhadap pelaksanaan kebijaksanaan negara.
Pernyataan kebijaksanaan ialah pernyataan resmi atau artikulasi (penjelasan)
mengenai kebijaksanaan negara tertentu. Termasuk dalam hal ini ialah
ketetapan-ketetapan MPR, Keputusan Presiden atau dekrit presiden,
peraturan-peraturan administratif dan keputusan-keputusan peradilan, maupun
pernyataan-pernyataan dan pidato-pidato para pejabat pemerintah yang
menunjukkan hasrat dan tujuan pemerintah serta apa yang akan dilaksnakan untuk
mewujudkan tujuan tersebut.
Keluaran kebijaksanaan adalah merupakan wujud kebijaksanaan negara yang paling
dapat dilihat dan dirasakan karena menyangkut hal-hal yang senyatanya dilakukan
guna merealisasikan apa yang telah digariskan dalam keputusan-keputusan dan
pernyataan-pernyataan kebijaksanaan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
keluaran-keluaran kebijaksanaan ini ialah menyangkut apa yang dikerjakan oleh
pemerintah, yang dapat kita bedakan dari apa yang ingin dikerjakan oleh
pemerintah.
Hasil akhir kebijaksanaan adalah akibat-akibat atau dampak yang benar-benar
dirasakan oleh masyarakat, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan
sebagai konsekuensi dari adanya tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah
dalam bidang-bidang atau masalah-masalah tertentu yang ada dalam masyarakat.
Untuk menjelaskan konsepsi tentang hasil akhir kebijaksanaan ini ada baiknya
jika kita ambil kebijaksanaan kesempatan kerja penuh (full employment policy)
di Indonesia sebagai contoh.
1.5. Mengapa Kebijaksanaan Negara Perlu
Dipelajari ?
Para ilmuwan politik
pada masa lampau pada umumnya mempunyai minat terhadap proses-proses politik,
semisal proses legislatif atau proses pemilihan umu, atau menaruh perhatian
terhadap unsur-unsur sistem politik, seperti kelompok kepentingan atau pendapat
umum. Sekalipun demikian, bukan berarti bahwa mereka tidak berminat terhadap
masalah-maslah kebijaksanaan. Masalah-masalah yang menyangkut kebijaksanaan
luar negeri dan kebijaksanaan yang bersangkut paut dengan kebebasan hak-hak
sipil pada umumnya telah lama diketahui sebagai lahan studi para ilmuwan
politik
Dewasa ini para ilmuwan
politik telah semakin meningkatkan perhatian mereka terhadap studi
kebijaksanaan negara, yakni suatu studi yang bermaksud untuk menggambarkan,
menganalisis dan menjelaskan secara cermat berbagai sebab dan akibat dari
tindakan-tindakan pemerintah. Kecenderungan makin meningkatnya perhatian para
ilmuwan politik terhadap studi kebijaksanaan negara ini telah dilukiskan secara
tepat oleh Prof. Thomas Dye (1978) sebagai berikut:
“ Studi ini mencakup
upaya menggambarkan isi kebijaksanaan negara; penilaian mengenai dampak dari
kekuatan-kekuatan yang berasal dari lingkungan terhadap isi kebijaksanaan
negara; analisis mengenai akibat dari berbagai pengaturan kelembagaan dan
proses-proses politik terhadap kebijaksanaan negara; penelitian mendalam
mengenai akibat-akibat dari berbagai kebijaksanaan negara terhadap sistem
politik; dan evaluasi dampak kebijaksanaan negara pada masyarakat, baik berupa dampak
yang diharapkan (yang direncanakan) maupun dampak yang tidak diharapkan”.
Dilihat dari sudut
alasan ilmiah, maka kebijaksanaan negara dipelajari dengan maksud untuki
memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam mengenai hakikat dan asal mula
kebijaksanaan negara, berikut proses-proses yang mengantarkan perkembangannya
serta akibat-akibatnya pada masyarakat. Pada gilirannya hal ini akan
meningkatkan pemahaman kita mengenai sistem politik dan masyarakat pada
umumnya. Dalam kaiatan ini kebijaksanaan mungkin dilihat baik sebagai variabel
tergantung (dependent variable) maupun sebagai variabel bebas (independent
variable).
Dilihat dari sudut
alasan profesional, maka studi kebijaksanaan negara dimaksudkan sebagai upaya
untuk menerapkan pengetahuan ilmiah di bidang kebijaksanaan negara guna
memecahkan masalah-masalah sosial sehari-hari. Sehubungan dengan ini terkandung
suatu pemikiran bahwa apabila kita mengetahui tentang faktor-faktor yang
membentuk kebijaksanaan negara, atau akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu, maka wajar jika kita dapat memberikan
sesuatu sumbangan berupa nasihat yang bermanfaat bagaimana agar individu,
kelompok, atau pemerintah dapat bertindak sedemikian rupa guna mencapai tujuan
kebijaksanaan mereka.
Sementara itu dilihat
dari sudut alasan politis, maka mempelajari kebijaksanaan negara pada dasarnya
dimaksudkan agar pemerintah dapat menempuh kebijaksanaan yang tepat guna
mencapai tujuan yang tepat pula. Dengan kata lain, studi kebijaksanaan negara
di sini dimaksudkan untuk menyempurnakan kualitas kebijaksanaan negara yang
dibuat oleh pemerintah. Dalam hubungannya dengan alasan politis ini perlu
kiranya diingat bahwa ada perbedaan yang cukup mendasar antara analisis
kebijaksanaan dengan nasihat kebijaksanaan. Analisis kebijaksanaan pada umumnya
bersangkut paut dengan penelitian dan penggambaran secara cermat mengenai
sebab-sebab dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan negara. Dalam
hal ini biasanya yang dianalisis ialah perumusan, isi dan dampak dari
kebijaksanaan negara, misalnya kebijaksanaan dalam bidang perdagangan
internasional, kebijaksanaan pertahanan, kebijaksanaan dibidang pendidikan
tinggi, kebijaksanaan transportasi dan lain sebagainya, tanpa bersikap
menyetujui atau menolaknya. Di lain pihak, nasihat kebijaksanaan biasanya
bersangkut paut dengan apa yang sebenarnya diperbuat oleh pemerintah, misalnya
dengan menganjurkan ditempuhnya kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu, melalui
diskusi atau seminar, persuasi atau tindakan-tindakan politik tertentu, seperti
menyampaikan petisi atau memorendum.
Gambar : Kebijaksanaan negara dilihat sebagai
|
|
|






|
|
|
1.6. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi
Pembuatan Keputusan /Kebijaksanaan
Beberapa faktor yang
mampengaruhi pembuatan kebijaksanaan itu adalah sebagai berikut :
a. Adanya pengaruh tekanan tekanan dari
luar
Seringkali administrator harus
membuat keputusan karna adanya tekanan tekanan dari luar walaupun ada
pendekatan pembuatan keputusan dengan nama “rational comprehensive”yang berarti
administrator sebagai pembuat keputusan harus mempertimbangkan alternatif
alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian “rasional’semata, tetapi
proses dan prosedur pembuatan keputusan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia
nyata sehingga adanya tekanan tekanan terhadap proses pembuatan keputusannya
b. Adanya pengaruh kebiasaan lama
(konservative).
Kebiasaan lama organisasi seperti
kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu sekali diperhitungkan untuk
membiayai program-program tertentu, cenderung akan selalu diikuti kebiasaan itu
oleh para administrator-kendatipun misalnya keputusan-keputusan yang berkenan
dengan itu telah dikritik sebagai salah dan perlu di ubah. Kebiasaan lama itu
diikuti lebih-lebih kalau suatu kebijaksanaan yang telah ada dipandang sangat
memuaskan.
Kebiasaan-kebiasaan lama tersebut seringkali diwarisi oleh para
administrator yang baru dan mereka sering segan secara terang-terangan
mengkritik atau rnenyalahkan kebiasaan-kebiasaan lama yang telah berlaku atau
yang dijalankan oleh para pendahulunya. Apalagi para administrator baru itu
ingin segera menduduki jabatan karirnya.
c.
Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai rnacam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak
dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Seperti misalnya dalam proses
penerimaan/pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi
pembuat keputusan berperan besar sekali.
d.
Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dan para pembuat keputusan juga berpengaruh terhadap
pembuatan keputusan. Seperti contoh mengenai masalah pertikaian kerja,
pihak-pihak yang bertikai kurang menaruh respek pada upaya penyelesaian oleh
orang dalam, tetapi keputusan-keputusan yang diambil oleh pihak-pihak yang
dianggap dari luar dapat memuaskan mereka. Seringkali juga pembuatan keputusan
dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman-pengalaman dari orang lain yang
sebelumnya berada diluar bidang pemerintahan.
e.
Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Pengalaman latihan dan pengalaman (sejarah) pekerjaan yang terdahulu berpengaruh
pada pembuatan keputusan. Seperti misalnya orang sering membuat keputusan untuk
tidak melimpahkan sebagian dari wewenang dan tanggungjawabnya kepada orang lain
karena khawatir kalau wewenang dan tanggungjawab yang dilimpahkan itu
disalahgunakan. Atau juga orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering
membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan di lapangan, dan sebagainya.
Di samping adanya faktor-faktor tersebut di
atas, Gerald E. Caiden menyebut adanya beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya
membuat kebijaksanaan yaitu: sulitnya memperoleh informasi yang cukup,
bukti-bukti sulit sulit disimpulkan; adanya pelbagai macam kepentingan yang
berbeda mempengaruhi pilihan tindakan yang berbeda-beda pula; dampak
kebijaksanaan sulit dikenali; umpan balik keputusan bersifat sporadis;
perumusan kebijaksanaan tidak-dimengerti dengan benar dan sebagainya. Selain
itu James E. Anderson melihat adanya beberapa macam nilai yang melandasi
tingkahlaku pembuat keputusan dalam pembuat keputusan yaitu: (1) nilai-nilai
politis – keputusan diabuat atas dasar kepentingan politik dan partai politik
atau kelompok kepentingan tertentu; (2). niiai-nilai organisasi (organization
values) keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut
organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi yang dapat mempengaruhi
anggota organisasi untuk menerima dan meIaksanakannya ;( 3). nilai-nilai
pribadi seringkali pula keputusan dibuat
atas dasar nilai-nilai pribadi yang dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk
mempertahankan status quo, reputasi, kekayaan dan sebagainya. (4). nilai-nilai
kebijaksanaan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijaksanaan tentang
kepentingan publik atau pembuatan kebijaksanaan yang secara moral dapat
dipertanggungjawabkan, dan (5). nilai-nilai ideologi. Nilai ideologi seperti
misalnya nasionalisme dapat menjadi landasan pembuatan kebijaksanaan seperti
misalnya kebijaksanaan dalam dan luar negeri.
Kesalahan-kesalahan umum sering terjadi
dalam, proses pembuatan keputusan. Nigro & Nigro menyebutkan adanya 7 macam
kesalahan-kesalahan umum itu' yaitu :
a.
Cara berpikir yang sempit (cognitive nearsightedness)
Adanya kecenderungan manusia membuat keputusan hanya untuk memenuhi
kebutuhan seketika sehingga melupakan antisipasi ke masa depan. Dan adanya
lingkungan pemerintahan yang beranekaragam telah menyebabkan pejabat pemerintah
sering membuat keputusan dengan dasar-dasar pertimbangan yang sempit dengan
tanpa mempertimbangkan implikasinya ke masa depan. Seringkali pula pembuat
keputusan hanya mempertimbangkan satu aspek permasalahan saja dengan melupakan
kaitannya dengan aspek-aspek lain sehingga gagal mengenali problema nya secara
keseluruhan.
b.
Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa lalu (assumption
that future will repeat past)
Banyak anggapan yang menyatakan bahwa dalam suatu masa yang stabil orang
akan bertingkahlaku sebagaimana para pendahuluannya di masa yang lampau. Tetapi
keadaan sekarang lauh dari stabil, karena banyak orang bertingkahlaku dengan
cara yang sangat mengejutkan. Kendatipun ada perubahan perubahan yang besar
pada perilaku orang-orang, namun masih banyak pejabat pemerintah yang secara
picik/buta beranggapan bahwa perubahan-perubahan itu normal dan hal tersebut
akan segera kembali seperti sediakala. Padahal di dalam membuat keputusan para
pejabat pemerintah tersebut harus meramalkan keadaan-keadaan dan
peristiwa-peristiwa yang akan datang yang berbeda dengan masa lampau.
c.
Terlampau menyederhanakan sesuatu (over simplification)
Selain adanya kecenderungan untuk berpikir secara sempit, ada pula
kecenderungan pembuat keputusan untuk terlampau menyederhanakan sesuatu.
Misalnya dalam melihat suatu masalah pembuat keputusan hanya mengamati
gejala-gejala masalah tersebut saja dengan tanpa mencoba mempelajari secara
mendalam apa sebab-sebab timbulnya masalah tersebut. Cara-cara yang dipakai
untuk mengatasi masalahpun dengan menerapkan senjata pamungkas" yang
sebenarnya belum atau "tidak" perlu dipakai, karena siapa tahu -
dengan pola bertindak sederhana hal tersebut tidak sepenuhnya dapat mengatasi
masalahnya malah justru mungkin menimbulkan masalah-masalah baru.
d. Terlampau menggantungkan pada pengalaman
satu orang (overreliance on one's own experience)
Pada umumnya banyak orang meletakkan bobot yang besar pada pengalaman
mereka diwaktu yang lalu dan penilaian pribadi mereka
e.
Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh para konsepsi pembuat keputusan
(preconccived nations)
Dalam banyak kasus, keputusan–keputusan seringkali dilandaskan pada
prakonsepsinya pembuat keputusan. Hal ini tidak terlalu salah tetapi jelas
tidak jujur. Keputusan-keputusan administratif akan lebih baik hasilnya kalau
didasarkan pada penemuan-penemuan ilmiah sosial
f. Tidak adanya keinginan untuk melakukan
percobaan (unwill ingness to experiment).
Cara untuk mengetahui apakah suatu keputusan itu dapat diimplementasikan
atau tidak adalah dengan mengetesnya secara nyata pada ruang tingkup yang kecil
(terbatas). Adanya tekanan waktu, pekerjaan yang menumpuk dan sebagainya
menyebabkan pembuat keputusan tidak punya kesempaun melakukan proyek percobaan
(pilot project). Atau mungkin ada kecurigaan sementara pihak (anggota-anggota
legislatif) bahwa apabila pejabat pemerintah melakukan kegiatan percobaan pada
suatu program berarti bahwa landasan pemikiran dalam penyusun program tersebut
kurang baik. Selain itu kegiatan-kegiatan percobaan dianggap memboros-boroskan
uang saja. Pejabat pemerintah kurang berani bereksperimen karena takut
menanggung risiko dan beranggapan bahwa bereksperimen sama saja halnya dengan
berjudi. Karena problema-problema yang dihadapi pemerintah semakin besar dan
kompleks maka pemerintah harus mampu mendorong pejabat-pejabatnya untuk lebih
berani melakukan eksperimen dan berani menanggung risiko.
g.
Keengganan untuk membuat keputusan (reluctance to decide)
Kendatipun mempunyai cukup fakta-fakta beberapa orang enggan untuk membuat
keputusan. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap membuat keputusan itu
sebagai tugas yang sangat berat, penuh risiko, bisa membuat orang frustasi,
kurang adanya dukungan dari lembaga atau atasan terhadap tugas pembuatan
keputusan, lemahnya sistem pendelegasian wewenang untuk membuat keputusan,
takut menerima kritikan dari orang lain atas keputusan yang telah dibuat dan
sebagainya.
1.7. Cara-Cara Untuk
Meningkatkan Perumusan Kebijaksanaan
Menurut pengamatan Yehezkel Dror praktek-praktek pembuatan kebiiaksanaan
negara sekarang ini masih kurang memuaskan. Hal ini disebabkan oleh banyak
faktor, antara lain pembuat kebijaksanaan kurang mempunyai kepemimpinan politis
yang baik, kurang bersifat inovatif dan sebagainya, tetapi yang lebih utarna adalah
kekurang-mampuannya dalam memanfaatkan bantuan ilmu-ilmu sosial dan fisika.
Menurut Dror untuk meningkatkan proses pembuatan kebijaksanaan diperlukan
adanya suatu revolusi ilmiah dalam bentuk ilmu-ilmu kebijaksanaan yang baru
dengan paradigma yang baru. llmu kebijaksanaan yang baru itu harus memuat
teknik-teknik yang membantu proses pembuatan kebijaksanaan.
Sesuai dengan pendapat Dror tentang paradigma
yang baru tersebut, maka ilmu-ilmu kebijaksanaan seharusnya:
a.
Berhubungan terutama dengan sistem-sistem pembinaan
masyarakat, khususnya sistem perumusan kebijaksanaan negara. Hal tersebut tidak
secara langsung menyangkut mengenai isi kebijaksanaan itu, tetapi mengnai
metode-metode, pengetahuan-pengetahuan dan sistem-sistem yang telah diperbarui
untuk pembuatan kebijaksanaan yang lebih baik.
b.
Memusatkan perhatiannya pada sistem-sistem pembuatan
kebijaksanaan negara pada jenjang makro (subnasional, nasional dan
transnasional). Namun juga perlu memperhatikan proses pembuatan keputusan
individual, kelompok dan orgnisasi dilihat dari perspektif pembuatan
kebijaksanaan negara.
c.
Bersifat interdisipliner, dengan memfusikan ilmu-ilmu
perilaku dan manajemen sefta menyerap elemen-elemen yang relevan dari
disiplin-disiplin ilmu pengetahuan lainnya seperti ilmu fisika dan teknik.
d.
Menggabungkan penelitian murni dan terapan, dimana dunia
nyata adalah merupakan laboratoriumnya yang utama.
e.
Memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman para pembuat
kebijaksanaan dan melibatkan mereka sebagai partner dalam membangun ilmu-ilmu
kebijaksanaan.
f.
Mencoba untuk menyumbangkan pada pilihan nilai dengan
meneliti implikasi-implikasi nilai tersebut dan isi nilai-nilai yang ada pada
kebijaksanaan-kebilaksanaan alternatif .
g.
Mendorong adanya "kreativitas yang
terorganisir" seperti dalam menemukan alternatif-alternatif yang baru.
h.
Menekankan baik pada pengembangan-pengembangan pembuatan
kebijaksanaan masa lalu maupun antisipasinya pada masa depan sebagai pedoman
pembuatan kebijaksanaan.
i.
Terlibat secara intensif dengan proses perubahan dan
dengan kondisi-kondisi perubahan sosial.
j.
menghargai proses pembuatan kebijaksanaan ekstra rasional
dan irasional seperti intuisi dan kharisma dan mencoba memperbaiki proses ini
dengan cara rasional.
k.
Mendorong percobaan (eksperimentasi) sosial dan
usaha-usaha untuk menemukan lembaga-lembaga sosial yang baru dan hukum-hukum
baru bagi perilaku sosial dan politik .
l.
Mempunyai kesadaran akan dirinya sendiri dan secara tetap
memonitor serta mendesain kembali ilmu-ilmu kebijaksanaan.
m.Menyiapkan para
profesional untuk memenuhi jabatan-jabatan pembuat keputusan yang tidak akan
mencampurkan missinya atau identifikasi dirinya dengan orientasi klinis dan
analisa rasional terhadap masalah-masalah kebijaksanaan.
n.
Berhati-hati dalam membuktikan kebenaran dan keberhasilan
dan mempertahankan standar ilmiah.
1.8. Beberapa Macam
Model Perumusan Kebijaksanaan
Yehezkel Dror mengemukakan adanya 7 (tujuh) macam model pembuatan keputusan
yaitu :
a. Pure Rationality Model
Model ini memusatkan perhatiannya pada pengembangan suatu pola pembuatan
keputusan yang ideal secara universal, dimana keputusan-keputusan tersebut
harus dibuat setepat-tepatnya.
b. Economically Rational Model
Model ini sama dengan model yang pertama tetapi
lebih ditekankan pada pembuatan keputusan yang paling ekonomis dan paling
efisien.
c. Sequential - Decision Model
Model ini memusatkan perhatiannya pada pembuatan eksperimen dalam rangka
menentukan pelbagai macam alternatif sehingga dapat dibuat zuatu kebijaksanaan
yang paling efektif.
d. lncremental Model
Model yang keempat ini berasal dari teorinya Charles E. Lindblom yang
terkenal dengan sebutan "muddling through" menjelaskan bagaimana
kebijaksanaan itu dibuat. Kebijaksanaan dibuat, atas dasar "perubahan yang
sedikit" dari kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ada sebelumnya, jadi
kebijaksanaan yang lama dipakai sebagai dasar /pedoman untuk membuat
kebijaksanaan yang baru.
e. Satisfying Model
Model ini didasarkan atas teori "satisficing" dari Herbert A.
Simon. Pendekatannya dipusatkan pada proses pemllihan alternatif kebijaksanaan
pertama yang paling memuaskan dengan tanpa bersusah-payah menilai
alternatif-alternatif yang lain.
f. Extra - Rational Model
Model ini didasarkan atas proses pembuatan keputusan yang sangat rasional
untuk menciptakan metode pembuatan kebijaksanaan yang paling optimal.
g. Optimal Model
Ini adalah merupakan suatu model yang
integratif (gabungan) yang memusatkan perhatiannya pada pengidentifikasian
nilai-nilai, kegunaan praktis dari pada kebijaksanaan dan masalah-masalahnya.
Semuanya itu ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah dengn memperhatikan
alokasi sumber-sumber, penentuan tuiuan yang hendak dicapai, pemilihan
alternatif-alternatif program, peramalan hasil-hasil dan pengevaluasian
alternatif-alternatif terbaik. Keputusan-keputusan dibuat atas dasar
pilihan-pilihan alternatif yang dapat diterima (acceptable).
1.9. Teori Teori
Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan mengandung arti
pemilihan altematif terbaik dari sejumlan Atematif yang tersedia. Teori-teori
pengambilan keputusan bersangkut paut dengan masalah bagaimana pilihan-pilihan
semacam itu dibuat. Kebijaksanaan, sebagai telah kita rumuskan di muka, adalah
suatu tindakan yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh seseorang
aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan suatu masalah atau persoalan
tertentu. Secara tipikal pembuatan kebijaksanaan merupakan tindakan yang
berpola, yang dilakukan sepanjang waktu dan melibatkan banyak keputusan yang di
antaranya ada yang merupakan keputusan rutin, ada yang tidak rutin.
Teori Rasional
Komprehensif
Unsur-unsur utama dari teori ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.
Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu
yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai
masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain.
2.
Tujuan-tujuan,
nilai-nilai, atau sasaran yang mempedomani pembuat keputusan amat jelas
dan dapat ditetapkan rangkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya.
3.
Pelbagai altenatif untuk memecahkan masalah tersebut
diteliti secara saksama.
4.
Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditmbulkan oleh
setiap altenatif yang dipilih diteliti.
5.
Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang
menyertainya, dapat diperbandingkan dengan alternatif-altenatif lainnya.
6.
Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan
akibat-akibatnya, yang dapat memaksimasi
tercapainya tujuan, nilai atau sasaran yang telah digariskan.
Teori rasional
komprehensif banyak mendapatkan kritik dan kritik yang paling tajam berasal
dari seorang ahli Ekonomi dan Matematika Charles Lindblom (1965 , 1964' 1959)'
Lindblom secara tegas menyatakan bahwa para pembuat keputusan itu sebenarya tidaklah
berhadapan dengan masalah-masalah yang konkrit dan terumuskan dengan jelas.
Lebih lanjut, pembuat keputusan kemungkinan
juga sulit untuk memilah-milah secara tegas antara nilai-nilainya sendiri
dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat. Asumsi penganjur model rasionar
bahwa antara fakta-fakta dan nilai-nilai dapat dengan mudah dibedakan, bahkan
dipisahkan, tidak pemah terbukti dalam kenyataan sehari-hari. Akhirnya, masih
ada masalah yang disebut ,,sunk_cost,,. Keputusan-keputusan, kesepakatan-kesepakatan
dan investasi terdahulu dalam kebijaksanaan dan program-program yang ada
sekarang kemungkinan akan mencegah pembuat keputusan untuk membuat keputusan
yang berbeda sama sekali dari yang sudah ada.
Untuk konteks negara-negara sedang
berkembang, menurut R's. Milne (1972), mode irasionar komprehensif ini jelas
tidak akan muduh diterapkan. Sebabnya ialah: informasi/datastatistik tidak
memadai ; tidak memadainya perangkat teori yang siap pakai untuk kondisi-
kondisi negara sedang berkembang ; ekologi budaya di mana sistem pembuatan
keputusan itu beroperasi juga tidak mendukung birokrasi di negara
sedang-berkembang umumnya dikenal amat lemah dan tidak sanggup memasok
unsur-unsur rasionar dalam pengambilan keputusan.
Teori Inkremental
Teori inkremental dalam pengambilan keputusan
mencerminkan suatu teori pengambilan keputusan yang menghindari banyak masalah
yang harus dipertimbangkan (seperti daram teori rasional komprehensif) dan,
pada saat yang sama, merupakan teori yang lebih banyak menggambarkan cara yang
ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam mengambil kepurusan sehari-hari.
Pokok-pokok teori inkremental ini dapat
diuraikan sebagai berikur.
a.
Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan
empiris yang diperlukan untuk mencapainya dipandang sebagai sesuatu hal yang
saling terkait daripada sebagai sesuatu hal yang saling terpisah.
b.
Pembuat keputusan dianggap hanya mempertimbangkan
beberapa altematif yang langsung berhubungan dengan pokok masalah dan
altematif-alternatif ini hanya dipandang berbeda secara inkremental atau
marginal bila dibandingkan dengan kebijaksanaan yang ada sekarang.
c.
Bagi tiap altematif hanya sejumlah kecil akibat-akibat
yang mendasar saja yang akan dievaluasi.
d.
Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan akan didedifinisikan secara teratur. Pandangan
inkrementalisme memberikan kemungkin untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan
tujuan dan sarana serta sarana dan tujuan sehingga menjadikan dampak dari
masalah itu lebih dapat ditanggulangi.
e.
Bahwa tidak ada keputusan atau cara pemecahan yang tepat
bagi tiap masalah. Batu uji bagi keputusan yang baik terletak pada keyakinan
bahwa berbagai analisis pada akhirnya akan sepakat pada keputusan tertentu
meskipun tanpa menyepakati bahwa keputusan itu adalah yang paling tepat sebagai
sarana untuk mencapai tujuan.
f.
Pembuatan keputusan yang inkremental pada hakikatnya
bersifat perbaikan-perbaikan kecil dan
hal ini lebih diarahkan untuk memperbaiki ketidaksempunaan dari upaya-upaya
konkrit dalam mengatasi masalahsosial yang ada sekarang daripada sebagai upaya
untuk menyodorkan tujuan-tujuan sosial yang sama sekali baru di masa yang akan
datang.
Keputusan-keputusan dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pada hakikatnya merupakan produk dari saling
memberi dan menerima dan saling percaya di antara pelbagai pihak yang terlibat
dalam proses keputusan tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya majemuk paham
lnkremental ini secara politis lebih aman karena akan lebih gampang untuk
mencapai kesepakatan apabila masalatr-masalah yang diperdebatkan oleh pelbagai
kelompok yang terlibat hanyalah bersifat upaya untuk memodifikasi terhadap
program-program yang sudah ada daripada jika hal tersebut menyangkut isu-isu
kebijaksanaan mengenai perubahan-perubahan yang radikal yang memiliki sifat
" ambil semua atau tidak sama sekali. Karena para pembuat keputusan itu
berada dalam keadaan yang serba tidak pasti khususnya yang menyangkut
akibat-akibat dari tindakan-tindakan mereka di masa datang, maka keputusan yang
bersifat inkremental ini akan dapat mengurangi resiko dan biaya yang
ditimbulkan oleh suasana ketidakpastian itu. Paham inkremental ini juga cukup
realistis karena ia menyadari bahwa para pembuat keputusan sebenamya kurang
waktu, kurang pengalaman dan kurang sumber-sumber lain yang diperlukan untuk
melakukan analisis yang komprehensif terhadap semua altematif untuk memecahkan
masalah-masalah yang ada.
Teori Pengamatan Terpadu
(Mixed Scanning Theory)
Penganjur teori ini adalah ahli sosiologi
organisasi Amitai Etzioni. Etzioni setuju terhadap kritik-kritik para teoritisi
inkremental yang diarahkan pada teori rasional komprehensif, akan tetapi ia
juga menunjukkan adanya beberapa kelemahan yang terdapat pada teori
inkremental. Misalnya, keputusan-keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan
penganut model inkremental akan lebih mewakili atau mencerminkan
kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang kuat dan mapan serta
kelompok-kelompok yang mampu mengorganisasikan kepentingannya dalam masyarakat,
sementara itu kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang lemah dan
yang secara politis tidak mampu mengorganisasikan kepentingannya praktis akan
terabaikan. Iebih lanjut" dengan memusatkan perhatiannya pada
kepentingan/tujuan jangka pendek dan hanya berusaha untuk memperhatikan variasi
yang terbatas dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada sekarang, maka model
inkremental cenderung mengabaikan peluang bagi perlunya pembaruan sosial
(social inovation) yang mendasar. Oleh karena itu, menurut Yehezkel Dror (1968)
gaya inkremental dalam pembuatan keputusan cenderung menghasilkan kelambanan
dan terpeliharanya status quo, sehingga merintangi upaya menyempurnakan proses
pembuatan keputusan itu sendiri. Bagi sarjana seperti Dror-- yang pada dasamya
merupakan salah seorang penganjur teori rasional yang terkemuka -- model
inkremental ini justru dianggapnya merupakan strategi yang tidak cocok untuk
diterapkan di negara-negara sedang berkembang, sebab di negara-negara ini
perubahan yang kecil-kecilan (inkremental) tidaklah memadai guna tercapainya
hasil berupa perbaikan-perbaikan besar-besaran.
Kriteria pengambilan
Keputusan
Menurut konsepsi Anderson, nilai-nilai yang
kemungkinan menjadi pedoman perilaku para pembuat keputusan itu dapat
dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:
Nilai-nilai Politik. Pembuat keputusan mungkin melakukan
penilaian atas altematif kebijaksanaan yang dipilihnya dari sudut pentingnya
altematif-altematil itu bagi partai politiknya atau bagi kelompok-kelompok
klien dari badan atau organisasi yang dipimpinnya. Keputusan-keputusan yang
lahir dari tangan para pembuat keputusan seperti ini bukan mustahil dibuat demi
keuntungan politik' dan kebijaksanaan dengan demikian akan dilihat sebagai
instrumen untuk memperluas pengaruh-pengaruh politik atau untuk mencapai tujuan
dan kepentingan dari partai politik atau tujuan dari kelompok kepentingan yang
bersangkutan.
Nilai-nilai organisasi. Para pembuat kepurusan, khususnya birokrat
(sipil atau militer), mungkin dalam mengambil keputusan dipengaruhi oleh
nilai-nilai organisasi di mana ia terlibat di dalamnya' Organisasi, semisal
badan-badan administrasi, menggunakan berbagai bentuk ganjaran dan sanksi dalam
usahanya untuk memaksa para anggotanya menerima, dan bertindak sejalan dengan
nilai-nilai yang telah digariskan oleh organisasi.
Nilai-nitai Pribadi. Hasrat untuk melindungi atau memenuhi
kesejateraan atau kebutuhan fisik atau kebutuhan finansial' reputasi diri, atau
posisi historis kemungkinan juga digunakan- oleh para pembuat teputusan sebagai
kriteria dalam pengambilan keputusan.
Nilai-nilai Kebijaksanaan. Dari perbincangan di atas, satu hal
hendaklah dicamkan, yakni janganlah kita mempunyai anggapan yang sinis dan
kemudian menarik kesimpulan bahwa para pengambil keputusan politik ini
semata-mata hanyalah dipengaruhi oleh pertimbangan-penimbangan demi keuntungan
politik, organisasi atau pribadi. Sebab, para pembuat keputusan mungkin pula
bertindak berdasarkan atas penepsi mereka terhadap kepentingan umum atau
keyakinan tertentu mengenai kebijaksanaan negara apa yang sekiranya secara
moral tepat dan benar. Seorang wakil rakyat yang mempejuangkan undang-undang
hak kebebasan sipil mungkin akan bertindak sejalan dengan itu karena ia yakin
bahwa tindakan itulah yang secara moral benar, dan bahwa persamaan hak-hak
sipil itu memang merupakan tujuan kebijaksanaan negara yang diinginkan, tanpa
mempedulikan bahwa perjuangan itu mungkin akan menyebabkannya mengalami resiko-resiko
politik yang fatal.
Nilai-nilai Ideologis. Ideologi pada hakikatnya merupakan
serangkaian nilai-nilai dan keyakinan yang secara logis saling berkaitan yang
mencerminkan gambaran sederhana mengenai dunia serta berfungsi sebagai pedoman
benindak bagi masyarakat yang meyakininya. Di berbagai negara sedang berkembang
di kawasan Asia, Afrika dan Timur Tengah nasionalisme yang mencerminkan hasrat
dari orang-orang atau bangsa yang bersangkutan untuk merdeka dan menentukan
nasibnya sendiri - telah memberikan peran penting dalam mewamai kebijaksanaan
luar negeri maupun dalam negeri mereka. Pada masa gerakan nasional menuju
kemerdekaan, nasionalisme telah berfungsi sebagai minyak bakar yang mengobarkan
semangat perjuangan bangsa-bangsa di negara-negara sedang berkembang melawan
kekuatan kolonial.
Aktor-aktor Yang Berperan Dalam Proses Kebijaksanaan
Dalam proses kebijaksanaan, menurut Charles
O. Jones, sedikitnya ada 4 (empat) golongan atau ripe aktor (pelaku) yang
terlibat, yakni : golongan rasionalis, golongan teknisi, golongan
inkrementalis, dan golongan reformis. Sungguhpun demikian, patut hendaknya
diingat bahwa pada kesempatan tertentu dan untuk suatu jenis isu tertentu
kemungkinan hanya satu atau dua golonga aktor tertentu yang berpengaruh dan
aktif terlibat. Peran yang dimainkan oleh keempat golongan aktor tersebut dalam
proses kebijaksanaan, nilai-nilai dan tujuan yang mereka kejar serta gaya kerja
mereka berbeda satu sama lain.
Golongan Rasionalis. Ciri-ciri utama dari kebanyakan golongan
aktor rasionalis ialatl batrwa dalam melakukan pilihan altematif kebijaksanaan
mereka selalu menempuh metode dan langkah-langkah berikut 1)
mengidentifikasikan masalah; 2) merumuskan tujuan dan menysunnya dalam jenjang
tertentu; 3) mengidentifikasikan semua altematif kebijaksanaan; 4) meramalkan
atau memprediksi akibat-akibat dari tiap altematif; 5) membandingkan
akibat-akibat tersebut dengan selalu mengacu pada tujuan; 6) dan memilih
alternatif terbaik.
Berdasarkan pada ciri-ciri tersebut, maka
perilaku golongan aktor rasionalis ini identik dengan peran yang dimainkan oleh
para perencana dan analis kebijaksanaan yang profesional yang amat terlatih
dalam menggunakan metode-metode rasional apabila menghadapi masalah-masalah
publik.
Dengan metode rasional ini diasumsikan bahwa
segala tujuan dapat ditetapkan sebelumnya dan bahwa informasi/data yang serba
lengkap dapat disediakan. Oleh sebab itu gaya kerja golongan rasionalis
cenderung seperti gaya kerja seoriang perencana yang komprehensif, yakni
seorang yang berusaha untuk menganalisis semua aspek dari setiap isu yang mucul
dan menguji setiap altematif yang mungkin berikut semul akibat dan dukungannya
terhadap tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Golongan Teknisi. Seorang teknisi pada dasamya tidak lebih
dari rasionalis, sebab ia adalah seorang yang karena bidang keahliannya atau
spesialisasinya dilibatkan dalam beberapa tahapan proses kebijaksanaan.
Golongan teknisi dalam melaksanakan fugasnya boleh jadi memiliki kebebasan,
namun kebebasan ini sebatas pada lingkup pekerjaan dan keahliannya. Nilai_nilai
yang mereka yakini adalah nilai-nilai yang berkaitan erat dengan latar belakang
keahlian profesional mereka, misalnya sebagai insinyur elektro, ahli
informatika dan ilmu komputer, ahli fisika, ahli statistika dan lain
sebagainya. Tujuan yang ingin dicapai biasanya ditetapkan oleh pihak lain,
mungkin oleh salah satu di antara golongan aktor yang telah kita sebutkan di
atas, atau boleh jadi gabungan dari golongan-golongan aktor tersebu. Golongan teknisi umumya menunjukkan rasa
antusiasrne dan rasa percaya diri yang tinggi apabila mereka diminta untuk
bekerja dalam batas-batas pendidikan dan keahliannya, namun cenderung enggan
untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan yang amat luas melampaui batas-batas
keahliannya tersebut.
Golongan inkrementalis. Golongan aktor inkrementalis ini dapat kita
identikkan dengan para politisi. para politisi, sebagaimana kita ketahui,
cenderung memiliki sikap kritis namun acapkali tidak sabaran terhadap gaya
kerja para perencana dan teknisi, walaupun mereka sebenarnya amat tergantung
pada apa yang dikerjakan oleh para perencana dan para teknisi. Golongan
inkrementalis pada umumnya meragukan bahwa sifat yang komprehensif dan serba
rasional itu merupakan sesuatu yang mungkin dalam dunia yang amat penuh dengan
ketidaksempurnaan ini. Golongan inkrementalis memandang tahap-tahap
perkembangan kebijaksanaan dan implementasinya sebagai suatu rangkaian proses
penyesuaian yang terus menerus terhadap hasil akhir (yang berjangka dekat
maupun yang berjangka panjang) dari suatu tindakan. Bagi golongan
inkrementalis, informasi dan pengetahuan yang kita miliki tidak akan pemah
mencukupi untuk menghasilkan suatu program kebijaksanaan yang lengkap. Oleh
sebab itu pada umumnya mereka sudah cukup puas dengan melakukan
perubahan-perubahan kecil. Nilai-nilai yang terkait dengan metode pendekatan
ini ialah hal-hal yang berhubungan dengan masa lampau atau hal-hal yang
berhubungan dengan terpeliharutya status quo --- kestabilan dari sistem dan
terpeliharanya status quo.
Golongan Reformis (Pembaharu). seperti halnya golongan
inkrementalis, golongan aktor reformis pada dasamya juga mengakui akan
terbatasnya informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam proses
kebijaksanaan, sekalipun berbeda dalam cara menarik kesimpulan. Golongan
inkrementalis berpendirian bahwa keterbatasan informasi dan pengetahuan itulah
yang mendikte gerak dan langkah dalam proses pembuatan kebijaksanaan. Dalam
kaitan ini Braybrooke dan Lindblom mengatakan, bahwa hanyalah
kebijaksanaan-kebij aksanaan yang sebelumnya telah dikenal, dan yang
akibat-akibatnya menimbulkan perubahan kecil pada apa yang sudah ada yang akan
dipertimbangkan pendekatan seperti ini bagi golongan reformis (yang notabene
menghendaki perubahan sosial), dianggap terlampau konservatif.
Pendekatan semacam itu umumnya ditempuh oleh
para Lobbyist (orang-orang yang berperan selaku juru kasak-kasuk/Frerunding di
parlemen). Nilai-nilai yang mereka junjung tinggi ialah yang berkaitan dengan
upaya untuk melakukan perubahan sosial, kadang kala demi perubatran sosial ini
sendiri, namun lebih sering bersangkut paut dengan Lepentingan
kelompok-kelompok tertentu. Tujuan kebijaksanaan biasanya ditetapkan dalam
lingkungan kelompok-kelompok tersebut, melalui berbagai macam proses, termasuk
di antanmya atas dasar keyakinan pribadi bahwa hasil akhir dari tindakan
pemerintah sekarang telah melenceng arahnya atau batrkan gagal. Karena itu gaya
kerja golongan aktor reformis ini umumnya sangat radikal, kerapkali disertai
dengan tindakan-tindkan demonstrasi dan konfrontasi dengan pihak pemerintah.
Melihat perbedaan-perbedaan perilaku keempat
golongan aktor yang terlibat datam proses kebijaksanaan tersebut, tidak heran
jika masing-masing golongan aktor itu saling mengecam. Golongan rasionalis
sering aitecam/dikritik tidak memahami kodrat manusia. Braybrooke dan Lindblom,
sebagai penganjur teori inkrementalis, malahan menyatakan bahwa lolongan aktor
rasionalis itu terlalu idealistis sehingga tidak cocok dengan keterbatasan
kemampuan manusia dalam mengatasi masalah. Sementara itu golongan aktor teknisi
kerapkali dituduh memiliki pandangan yang picik karena hanya peduli terhadap
masalah-masalah sempit sebatas pada bidang keahliannya semata dan kurang peduli
terhadap masalah-masalah publik yang luas, yang kemungkinan melampaui bidang
keahlian yang dikuasainya. Golongan aktor inkrementalis di lain pihak,
seringkali dianggap memiliki sikap konservatif sebab mereka tidak terlalu
tanggap terhadap perubahan sosial atau bentuk-bentuk inovdsi yang lain.
Akhirnya golongan aktor reformis seringkali dituduh mau menangnya sendiri,
tidak sabaran, tidak kenal kompromi dan karena itu tidak realistis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar